Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) di posisi 3,75 persen pada Desember 2020. Begitu pula dengan tingkat suku bunga deposit facility dan bunga lending facility masing-masing tetap 3 persen dan 4,5 persen.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 16-17 Desember 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7DRR sebesar 3,75 persen," ucap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil RDG BI periode Desember 2020 secara virtual, Kamis (17/12).
Perry mengatakan keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi global yang terus membaik. Hal ini terlihat dari kenaikan indeks manufaktur PMI, keyakinan konsumen, dan tingkat pengangguran yang menurun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perbaikan dipengaruhi oleh rencana vaksinasi dan stimulus ekonomi serta harga komoditas," katanya.
Perkembangan ini meningkatkan aliran modal asing ke negara berkembang dan mendorong penguatan mata uang di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di dalam negeri, BI melihat ada sinyal pemulihan ekonomi yang terlihat dari peningkatan mobilitas dan aktivitas masyarakat dan kepercayaan konsumen.
"Ke depan vaksinasi dan pelaksanaan protokol kesehatan adalah kondisi prasarana bagi proses pemulihan ekonomi nasional," tuturnya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan mulai positif pada kuartal IV 2020, sehingga berada di kisaran minus 1 persen sampai minus 2 persen pada keseluruhan 2020. Sementara 2021 diperkirakan mencapai 4,8 persen sampai 5,8 persen.
Beberapa indikator makro yang dipertimbangkan bank sentral nasional, yaitu neraca pembayaran Indonesia (NPI) yang diperkirakan tetap surplus didorong oleh rendahnya Defisit Transaksi Berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang diramal akan berada di bawah 1,5 persen dari PDB pada akhir tahun ini.
Sementara aliran modal masuk ke dalam negeri juga berlanjut di mana investasi portofolio yang net inflow US$2,54 miliar pada Oktober-November 2020. Lalu, cadangan devisa US$133,6 miliar per November 2020.
Kemudian, nilai tukar rupiah menguat 0,36 persen secara rerata pada 16 Desember 2020. Sedangkan secara point-to-point (p-to-p) melemah 0,04 persen dan depresiasi 1,72 persen secara year-to-date (ytd).
"BI memandang penguatan rupiah akan berlanjut. Hal ini didukung defisit transaksi berjalan yang rendah, inflasi rendah dan terkendali, daya tarik domestik yang tinggi, dan premi risiko yang menurun, serta likuiditas global yang besar," terangnya.
Selanjutnya, inflasi rendah karena permintaan belum kuat dan pasokan yang memadai. Inflasi bulanan sebesar 0,28 persen dan 1,59 persen secara tahunan per November 2020. Bank sentral nasional memperkirakan inflasi akan di bawah target 3 persen plus minus 1 persen pada 2020.
BI juga mempertimbangkan indikator sistem keuangan nasional. Kondisi likuiditas diklaim masih longgar, tercermin dari suntikan likuiditas BI sebesar Rp694,9 triliun terdiri dari GWM Rp155 triliun dan ekspansi moneter Rp524,1 triliun.
Hal ini membuat rasio Alat Liquid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 31,52 persen per November 2020. Lalu, rata-rata suku bunga PUAB 3,2 persen, suku bunga deposito 4,74 persen, kredit modal kerja 9,32 persen, dan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) turun menjadi 6,07 persen.
"Namun BI memandang penurunan suku bunga kredit di perbankan berjalan lambat," imbuhnya.
Sementara rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) bank sebesar 23,7 persen pada Oktober 2020. Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) sebesar 3,15 persen (gross) atau 1,03 persen (net).
Pertumbuhan kredit bank terkontraksi 1,39 persen dan pertumbuhan DPK meningkat jadi 11,55 persen per November 2020.
"Pertumbuhan kredit diperkirakan akan meningkat dari sektor industri makanan-minuman, logam dasar, alas kaki, dan lainnya," pungkasnya.
(uli/sfr)