Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) memproyeksi omzet usaha di bidang restoran anjlok 70 persen saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Jawa Bali pada 11-25 Januari 2021 mendatang.
Ketua Pengembangan Restoran PHRI Susanty Widjaya mengatakan proyeksi ini muncul karena mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, realisasi rata-rata penurunan omzet pengusaha restoran mencapai 50 persen sampai 60 persen sepanjang 2020.
Penurunan omzet bisnis pada 2020 terjadi karena penerapan PSBB jilid pertama, masa transisi, PSBB jilid kedua, masa transisi lagi, hingga pengetatan mobilitas ketika libur akhir tahun kemarin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, proyeksi juga mempertimbangkan skala pemberlakuan PSBB yang lebih luas, yaitu mencakup Jawa dan Bali.
Ketiga, aturan keterisian konsumen yang makan di tempat semakin minim, yaitu hanya 25 persen dari sebelumnya 50 persen. Padahal, pesanan dari rumah atau ambil sendiri (take away) tidak cukup mampu menutup potensi pendapatan dari makan di tempat (dine in).
"Average dampak (penurunan omzet) dari (PSBB) kemarin saja mencapai 50 persen sampai 60 persen. Kalau nanti (PSBB Jawa-Bali), bisa turun jadi 70 persen," ungkap Susan kepada CNNIndonesia.com, Kamis (7/1).
Bahkan, menurut Susan, tren penurunan omzet dari 2020 masih berlanjut pada awal tahun ini. Khususnya di pusat perbelanjaan modern alias mal.
"Sepi banget, saya habis cek outlet di Kuningan City saja, itu sepi banget. Lantai atas itu sudah tutup semua, satu food court juga sudah tutup semua," katanya.
Atas proyeksi ini, Susan berharap pemerintah bisa lebih royal dalam memberikan bantuan atau stimulus ke pengusaha restoran. Salah satunya dengan memberi relaksasi pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
"Ya kalau bisa PBB1 itu ada penurunan, kami masih berharap," imbuhnya.
Selain relaksasi pembayaran pajak, Susan yang juga aktif di Asosiasi Lisensi Indonesia (Asensi) meminta pemerintah memberikan bantuan yang lebih riil, misalnya subsidi atau gratis booth bagi pengusaha waralaba. Khususnya, pengusaha waralaba makanan yang berskala UMKM.
"Karena banyak pengusaha waralaba menengah-kecil yang gulung tikar. Bukan cuma yang besar di mal, tapi yang kecil-kecil di pinggir jalan, pinggir toko. Itu mereka tidak dapat bantuan," tuturnya.
Di sisi lain, ia meminta pemerintah tegas menerapkan PSBB kali ini. Sebab, menurutnya, PSBB akan terus diperlukan secara berulang apabila tidak ada ketegasan. Padahal, hal itu jelas berdampak buruk bagi dunia usaha.
"Pemerintah juga harus lebih ketat kepada mereka yang makan di warung, di pasar, mungkin karena ekonomi turun jadi semakin pilih makan di warung, tapi itu yang justru harus juga diperketat bukan cuma yang restoran," pungkasnya.