Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengaku ingin menemui Menteri Keuangan Sri Mulyani dan bicara mengenai insentif khusus di sektor perdagangan. Tujuannya, demi mendongkrak kinerja sektor perdagangan yang tertekan di era pandemi virus corona (covid-19).
"Saya ingin bicara sama Ibu Sri Mulyani untuk memberi insentif agar orang mau konsumsi," imbuhnya di acara virtual Media Group News Summit Indonesia 2021, Rabu (27/1).
Menurut Lutfi, insentif khusus itu harus mampu meningkatkan konsumsi masyarakat dan dunia usaha karena dampaknya akan berimbas ke sektor perdagangan. Sebab, ketika konsumsi meningkat dan permintaan meningkat, maka roda perdagangan bisa berjalan lebih cepat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Begitu berkonsumsi, kredit jalan lagi, beli mobil, beli sepeda motor, dan saya jamin inflow (arus masuk) dari barang dan bahan baku. Bahan penolong ini akan baik lagi tata laksananya, tata kelolanya," jelasnya.
Dampak selanjutnya, ia percaya akan memberi manfaat pula bagi perekonomian nasional. Kinerja perdagangan yang lebih baik dinilai akan berkontribusi lebih ke pertumbuhan.
Sayangnya, ia belum mengungkapkan bentuk konkret dari insentif yang dibutuhkan itu. Sementara, saat ini, pemerintah sudah memberikan beberapa insentif untuk mendongkrak konsumsi masyarakat.
Misalnya, bantuan sosial (bansos). Ada beberapa program bansos yang sudah diberikan ke masyarakat, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Kartu Prakerja, Bansos Tunai, Subsidi Gaji, hingga diskon listrik.
Namun, Lutfi mengatakan insentif ini penting karena ia menilai kinerja perdagangan yang justru berhasil mencatatkan surplus mencapai US$21,74 miliar pada 2020 hanya sebuah kebetulan. Bahkan, ia melihat kinerja itu tidak cukup bagus.
"Surplus kita kali ini bukan surplus yang enak, bukan surplus seperti tahun 2012. Bahkan, ini adalah kebalikannya, menunjukkan bahwa kita sedang lemah, dan ekonomi kita kalau lagi lari maraton sedang terkilir kakinya," tuturnya.
Sebelumnya, ia menyatakan surplus tahun lalu terjadi karena penurunan impor jauh lebih tinggi dari ekspor, yaitu mencapai 17 persen. Sedangkan ekspor hanya turun 2,16 persen.
Hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana surplus biasanya terjadi karena volume perdagangan dari Indonesia ke sejumlah negara memang meningkat. Selain itu, juga terjadi karena kenaikan harga komoditas di pasar dunia.