
ANALISIS
Transaksi Dinar-Dirham Bukti BI Perlu Lebih Galak Sosialisasi

Bank Indonesia (BI) menyentil transaksi mata uang asing dinar dan dirham yang dilakukan di Pasar Muamalah Depok, Jawa Barat. BI menegaskan bahwa rupiah adalah satu-satunya mata uang sah untuk melakukan transaksi di Indonesia.
Penggunaan dinar dan dirham viral usai sebuah video merekam aktivitas jual-beli. Tidak hanya di Depok, tetapi juga di beberapa wilayah lain seperti Yogyakarta dan Bekasi.
Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono meminta masyarakat untuk berhati-hati dan menghindari penggunaan alat pembayaran selain rupiah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang disebutkan rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi pembayaran atau penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang.
"Dengan demikian, kalau ada transaksi menggunakan denominasi non rupiah melanggar Pasal 21 UU tentang Mata Uang, dengan sanksi pidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (28/1).
Peringatan keras yang disampaikan BI wajar, mengingat penggunaan mata uang asing di beberapa wilayah di Indonesia seperti bermain kucing-kucingan. Batam, misalnya, beberapa orang diketahui bisa bertransaksi dengan dolar Singapura.
Sementara, di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia, masyarakat menggunakan dua mata uang, yakni rupiah dan ringgit.
Begitu pula di Miangas, Sulawesi Utara, yang berbatasan langsung dengan Filipina. Hingga saat ini warga setempat terbiasa menggunakan peso jika tak memiliki rupiah.
Pengamat Perbankan dari Indonesia Banking School (IBS) Batara Simatupang menilai pangkal masalah penggunaan valuta asing dalam transaksi eceran tak lain karena adalah kurangnya sosialiasi mengenai pidana dan denda ketika menggunakan mata uang selain rupiah dalam transaksi di dalam negeri.
BI sebagai lembaga yang berwenang dalam hal ini, ia menegaskan harus melakukan pembenahan. "Pengawasan penggunaan uang kewenangannya ada pada BI sesuai UU Mata Uang," imbuh dia.
Seharusnya, pengawasan dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak. Dengan sumber daya terbatas, BI akan kesulitan untuk menemukan di mana terjadinya suatu pelanggaran.
Tanpa kerja sama dan kordinasi yang baik dengan pemerintah daerah dan masyarakat, ia yakin penggunaan valuta asing bisa semakin masif di tengah masyarakat.
"Tindakan seperti ini selalu sporadis, sehingga kalau tidak ada laporan masyarakat susah untuk mendeteksinya," terang Batara.
Ia juga menilai minimnya sosialisasi jadi penyebab maraknya penggunaan valuta asing untuk transaksi di dalam negeri.
Di daerah-daerah di luar Jawa, terutama yang berbatasan dengan negara lain, transaksi menggunakan mata uang asing bahkan dianggap lumrah. Seperti di Batam, Kalimantan Barat, Miangas, seperti disebutkan sebelumnya.
"Tindakan pencegahan adalah sosialisasi yang terus-menerus, bisa melalui media sosial, stiker, surat edaran yang menjangkau masyarakat dan juga advertorial di televisi dan radio," tutur Batara.
Belum lagi, masalah berjual-beli menggunakan valas secara non tunai. Di Bali, misalnya, sempat ramai penggunaan WeChat Pay oleh turis asal China untuk pembayaran saat berbelanja.
Padahal, kegiatan tersebut secara tegas dilarang lewat Peraturan BI Nomor 17 tahun 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Indonesia.
Batara menyarankan BI perlu membentuk unit khusus yang melibatkan kepolisian agar penegakan aturan menjadi lebih mudah. Sebab, biasanya pihak yang bersalah bukan hanya turis melainkan juga pelaku usaha yang menerima pembayaran dengan valas.
"Mengenai unit khusus untuk penertibannya, seyogianya ada di mana dalam hal penegakannya mesti menggandeng penyidik dari kepolisian," jelasnya.
Lihat juga:OJK Restui Merger Tiga Bank Syariah BUMN |
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid mengatakan besarnya transaksi dengan mata uang asing akan turut berdampak pada nilai tukar rupiah.
Karena itu, pemerintah tidak hanya harus memastikan masyarakat yang bertransaksi menggunakan rupiah, melainkan juga perusahaan-perusahaan besar. "Semakin nilai tukar stabil, tekanan ke perekonomian akan semakin rendah," ucapnya.
Meski demikian, untuk beberapa wilayah yang berbatasan dengan negara lain, bank sentral seharusnya bisa membuat ketentuan khusus agar tidak terjadi kecemburuan sosial di masyarakat.
Sebab masyarakat wilayah-wilayah terluar bukan tak mau menggunakan rupiah untuk bertransaksi, melainkan karena akses mereka terhadap uang kartal juga terbatas.
"Dilihat dulu, kalau dia nilainya kecil transaksinya ya enggak apa-apa. Tapi ini beda sama dinar-dirham, yang penggunanya gampang akses rupiah. Lagipula rupiah kan lebih mudah untuk transaksi dibandingkan dinar dan dirham yang pecahan uangnya besar," tandas Ahmad.
(hrf/bir)