ANALISIS

'Mengasah' Konflik Agraria dengan Sertifikat Tanah Elektronik

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Kamis, 04 Feb 2021 07:15 WIB
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai sertifikat tanah elektronik akan memperkeruh konflik agraria di tengah reforma agraria yang tak berujung.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai sertifikat tanah elektronik akan memperkeruh konflik agraria di tengah reforma agraria yang tak berujung. Ilustrasi pembagian sertifikat tanah. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari).

Di sisi lain, Dewi menyatakan banyak masyarakat masyarakat adat atau mereka yang tinggal di pedesaan belum mengenal internet. Kekhawatirannya, kebijakan baru terkait sertifikat tanah elektronik ini akan merugikan masyarakat di daerah dan masyarakat adat.

"Ini seolah-olah menyamakan seluruh kemampuan masyarakat dengan sistem teknologi yang modern dan serba digital," ujar Dewi.

Masyarakat di daerah dan masyarakat adat jelas akan kesulitan melakukan pendaftaran secara daring (online). Kalau pun sertifikat elektronik berhasil diterbitkan, maka belum tentu mereka bisa mengakses datanya secara rutin karena kemampuannya terbatas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Masyarakat kecil belum bisa ke sana (beralih ke sistem digital). Makanya harus ada proses adaptasi dulu," kata Dewi.

Lagipula, menurut Dewi, sertifikat tanah seharusnya hanya menjadi dokumen cadangan (back up) untuk pemilik. Dengan begitu, pemilik tetap memiliki sertifikat fisik.

"Jadi sertifikat elektronik tidak menggantikan, hanya pelengkap. Kalau rumah banjir, kebakaran, masih ada cadangan untuk bisa di print ulang. Tapi tidak boleh menggantikan," terang Dewi.

Senada, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan masyarakat kecil akan semakin sulit mendapatkan sertifikat tanah setelah pemerintah mengubahnya dari fisik menjadi elektronik. Sebab, masih banyak masyarakat yang tidak paham cara menggunakan internet.

"Justru kebijakan itu menyulitkan masyarakat, masih banyak sekarang yang tidak memiliki sertifikat. Pemberian sertifikat tanah gratis tidak mencapai target, pada akhirnya apakah nantinya tidak menimbulkan polemik," katanya.

Ia juga berpendapat implementasi sertifikat tanah elektronik akan sulit dilakukan. Belum lagi, ada potensi sistem data sertifikat elektronik jadi target peretas (hacker).

"Kalau sertifikat hanya berbentuk elektronik bagaimana kalau diubah-ubah hacker, apakah masyarakat tidak dirugikan," ucap Trubus.

Karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk melakukan sosialisasi terlebih dahulu sembari mengedukasi masyarakat terkait sertifikat tanah elektronik. Jangan sampai, mayoritas justru kebingungan untuk mengajukan sertifikat tanah ke depannya.

"Lalu pemerintah juga harus transparan, bisa dipertanggungjawabkan sistemnya, ada perlindungan hukum bagi pemilik tanah. Tata kelolanya bagaimana? Semua harus jelas mekanismenya," terang Trubus. 

Diketahui, pendaftaran tanah baru perlu dilakukan melalui sistem elektronik yang nanti akan dipublikasikan oleh Kementerian ATR/BPN. Nantinya, pendaftar perlu melampirkan beberapa dokumen elektronik.

Dokumen-dokumen tersebut, antara lain, gambar ukur, peta bidang tanah atau peta ruang, surat ukur, gambar denah satuan rumah susun atau surat ukur ruang, dan/atau dokumen lainnya yang merupakan hasil pengumpulan dan pengolahan data fisik.

Lalu, setiap bidang tanah yang sudah ditetapkan batas-batasnya akan mendapat nomor identifikasi bidang tanah.

Setelah itu, pendaftar harus melalui tahap pembuktian hak berdasarkan alat bukti tertulis yang bisa berupa dokumen elektronik yang diterbitkan sistem elektronik dan dokumen yang dialihmediakan menjadi dokumen elektronik.

Berbagai dokumen itu akan diteliti oleh pihak BPN. Jika sudah disetujui, tanah yang sudah ditetapkan haknya harus perlu didaftarkan ke sistem elektronik untuk diterbitkan sertifikat elektroniknya.

Nantinya, pemilik akan mendapatkan sertifikat dan akses atas sertifikat tanah elektronik pada sistem elektronik. Keduanya tidak akan diterbitkan jika data fisik tidak lengkap atau tanah masih disengketakan.

Sementara, masyarakat yang sebelumnya sudah memiliki sertifikat tanah dan ingin mengubahnya menjadi elektronik perlu mengajukan permohonan pelayanan pemeliharaan data pendaftaran tanah ke Kementerian ATR/BPN.

Syaratnya, data fisik dan yuridis di buku tanah yang dimiliki sudah sesuai dengan data di sistem elektronik. Nantinya, pihak BPN akan melakukan validasi terhadap tanah pendaftar tersebut.

Validasi dilakukan pada data pemegang hak, data fisik, dan data yuridis. Jika sudah sesuai, maka akan diterbitkan sertifikat tanah elektronik dan buku tanah ditarik.

(bir)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER