Kementerian Ketenagakerjaan bersama Kementerian Keuangan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) memastikan dana jaminan sosial pekerja atau buruh di BPJS Ketenagakerjaan aman di tengah dugaan kasus korupsi yang membelit badan eks PT Jamsostek tersebut.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menegaskan tidak akan mengintervensi kasus yang sedang dalam penyelidikan Kejaksaan Agung (Kejagung) itu. Namun, ia berjanji akan memantau perkembangannya, dan tetap menghormati proses hukum berlaku.
"Kemenaker berkoordinasi bersama dengan Kemenkeu dan DJSN mengupayakan perlindungan dan memberikan informasi yang clear (jelas) bahwa dana jaminan sosial pekerja atau buruh tetap aman," ungkap Ida kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Kejagung sudah menggeledah kantor pusat BPJS Ketenagakerjaan pada 18 Januari 2020 lalu. Dugaan korupsi mengarah pada kerugian dari penempatan dana investasi yang diperkirakan mencapai Rp43 triliun.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Ali Mukartono mengatakan dugaan korupsi pada BPJS Ketenagakerjaan mirip dengan kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) karena berkaitan dengan pengelolaan dana investasi.
"Hampir sama dengan Jiwasraya, itu kan investasi juga. Dia (perusahaan) punya duit, investasi keluar," kata Ali beberapa waktu lalu.
Informasi yang disampaikan oleh Kejagung itu membuat pekerja khawatir terhadap nasib uang hasil 'keringat' mereka yang diparkir pada sejumlah program jaminan sosial di BPJS Ketenagakerjaan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai pemerintah memang punya kewajiban memberikan kepastian kepada peserta BPJS Ketenagakerjaan terkait dana mereka. Pasalnya, selama ini pekerja cenderung bereaksi tanpa pengetahuan yang cukup mengenai kondisi keuangan BPJS Ketenagakerjaan.
Timboel memperkirakan angka kerugian investasi yang disampaikan oleh Kejagung merupakan unrealized loss alias penurunan nilai aset investasi saham atau reksa dana sebagai dampak dari fluktuasi pasar modal, namun belum direalisasikan atau dijual sebagai aset. Sederhananya, kerugian tidak nyata.
Dalam catatannya, Timboel menilai unrealized loss investasi BPJS Ketenagakerjaan pada 30 September 2020 mencapai Rp48,44 triliun. Lalu, menurun menjadi Rp22,25 triliun pada akhir 2020 sejalan dengan penguatan indeks saham.
Per 18 Januari 2021, ia menuturkan unrealized loss investasi BPJS Ketenagakerjaan menyusut lagi menjadi Rp14,65 triliun karena IHSG sudah kembali ke level psikologi 6.000-an.
Menurut Timboel, BPJS Ketenagakerjaan telah menempatkan dana investasi sesuai dengan ketentuan PP Nomor 55 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Berdasarkan data yang ia kantongi, dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp494,06 triliun per 18 Januari 2021. Dari sana, mayoritas dana ditempatkan pada obligasi pemerintah 63,1 persen. Disusul saham 15,9 persen, deposito 12,2 persen, reksa dana 8,3 persen, properti 0,4 persen dan penyertaan langsung 0,1 persen.
Khusus untuk saham dan reksa dana, BPJS Ketenagakerjaan memarkir dana pada saham-saham LQ45 sesuai dengan ketentuan PP Nomor 55 Tahun 2015.
"Kalau Kejagung menyatakan unrealized loss sebagai pidana, saya haqqul yakin tidak ada Direksi BPJS Ketenagakerjaan yang berani beli saham. Karena tidak tahu, kalau dia beli sekarang saham LQ45, besok turun. Jadi, tak ada orang yang mampu memprediksi apakah saham itu akan naik terus, tidak ada," terang Timboel.
Karenanya, ia menilai kasus BPJS Ketenagakerjaan berbeda dengan Jiwasraya. Pada Jiwasraya, oknum tidak bertanggung jawab melepas kepemilikan saham saat nilainya turun, sehingga Jiwasraya mengalami cut loss atau menjual saham lebih rendah dibandingkan harga pembelian.
Timboel berharap pemerintah bisa memberikan pemahaman kepada peserta BPJS Ketenagakerjaan mengenai duduk perkara tersebut, sehingga tidak menimbulkan keresahan publik.
"Kasus Jiwasraya dan Asabri sangat berbeda dengan BPJS Ketenagakerjaan, dari sisi saham yang dibeli, kebijakan cut loss (di BPJS Ketenagakerjaan) tidak ada, lalu ada regulasi yang menaungi PP Nomor 55 Tahun 2015, jadi sangat beda," jelasnya.
Pemerintah, kata Timboel, juga perlu memastikan rasio klaim program jaminan sosial di BPJS Ketenagakerjaan terjaga pada level aman. Meliputi, program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP).
Ia menjelaskan rasio klaim adalah perbandingan total iuran masuk dengan total manfaat yang dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Rasio klaim merupakan ukuran kemampuan bayar manfaat oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Misalnya, rasio klaim program JKK pada 2019 lalu sebesar 26,6 persen. Itu berarti, dari 100 persen iuran yang masuk, sebanyak 26,6 persen digunakan oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk membayar manfaat.
Sementara itu, rasio klaim JKM sebesar 30,6 persen pada 2019 lalu. Sedangkan, rasio klaim JHT, yakni 57,09 persen dan JP 1,1 persen.
Melihat angka rasio klaim tersebut, ia menyatakan posisinya secara umum masih aman, meskipun ia memprediksi rasio klaim untuk JKK, JKM, dan JHT meningkat selama pandemi covid-19. Perkiraannya, rasio klaim JKK dan JKM naik menjadi kisaran 30 persen-35 persen dan JHT 60 persen.
"Masih ada selisih dari iuran yang menjadi cadangan. Tetapi, jangan khawatir ketahanan dana (untuk membayar klaim) dari iuran saja sudah selesai, sudah cukup," ucapnya.
Skenario terburuk, apabila BPJS Ketenagakerjaan tidak bisa membayar klaim, maka negara harus hadir melalui APBN. Ini serupa dengan pemberian dana talangan kepada BPJS Kesehatan untuk menutup utang kepada rumah sakit mitra.
Hal tersebut sudah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Walau, ia meyakini skenario terburuk ini tidak akan terjadi.
"Perintah UU tentang BPJS, ketika ada persoalan klaim pembayaran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan maka pemerintah turun tangan, dari APBN. Jelek-jeleknya, kalau semua berantakan, tidak ada uang lagi ya pemerintah bayar. Jadi, jangan khawatir juga pekerja, semuanya ditanggung," tuturnya.
Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo menambahkan sebetulnya penempatan instrumen investasi pada saham-saham LQ45 merupakan salah satu jaminan yang diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
"Sudah ada jaminan dari BPJS Ketenagakerjaan, mereka menempatkan dana kelolaan di saham LQ45 sebesar 90 persen lebih. Artinya, itu sudah merupakan jaminan mereka tidak sembrono dalam menempatkan dananya," terang Irvan.
Jaminan lainnya, kata Irvan, BPJS Ketenagakerjaan telah menjalankan praktik tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Ini tercermin dari pemisahan fungsi direktur keuangan dan direktur investasi.
"Dampaknya, dengan pemisahan fungsi keuangan dan investasi ada check balance. Artinya, yang memegang investasi bukan yang pegang uang, khusus investasi saja, jadi ada kontrol," tegas dia.