Korupsi Pajak Bukti Remunerasi Perlu Evaluasi
Menteri Keuangan Sri Mulyani membongkar dugaan kasus suap pajak yang dilakukan anak buahnya di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kasus korupsi pajak berawal dari laporan masyarakat pada 2020 lalu.
Pegawai DJP yang diduga menerima suap sudah melakukan pengunduran diri dan dibebastugaskan dari jabatannya. Ani, panggilan akrabnya, menyatakan akan berkoordinasi dengan KPK dalam mengusut tuntas dugaan kasus tersebut.
Sejauh ini, KPK menyebut terdapat dugaan suap pajak dari wajib pajak (WP) ke pemeriksa dengan nilai miliaran rupiah. Tapi, identitas tersangka belum diungkap karena proses penyidikan masih berlangsung.
Praktik suap pajak atau korupsi di lingkungan DJP sebenarnya sudah beberapa kali terjadi. Pada 2011 misalnya, eks pegawai pajak Gayus Halomoan Tambunan divonis tujuh tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi saat menangani keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (PT SAT), sehingga merugikan negara Rp570 juta.
Pada 2017 lalu, eks Kasubdit Pemeriksaan Bukti Permulaan Penegakan Hukum DJP Handang Soekarno divonis 10 tahun penjara karena menerima suap Rp1,9 miliar dari Country Director PT EK Prima Indonesia (EKP) Ramapanicker Rajamohanan Nair.
Kasus penyuapan pegawai pajak kembali terjadi pada 2019. Empat pegawai pajak terbukti menerima suap dari petinggi PT Wahana Auto Ekamarga (WAE).
Ironi memang. Tunjangan jumbo yang diberikan pemerintah rupanya tak mampu membuat pegawai pajak bersih 100 persen.
Kebijakan mengenai tunjangan karyawan pajak tertuang dalam Peraturan Presiden (PP) Nomot37 Tahun 2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawaidi Lingkungan DJP.
Dalam aturan itu disebutkan tunjangan tertinggi untuk pegawai DJP mencapai Rp117,37 juta. Sementara, tunjangan terendah ditetapkan sebesar Rp5,36 juta.
Lebih menyedihkan lagi, dugaan korupsi ini terjadi ketika negara 'kalang kabut' karena membutuhkan banyak dana untuk menangani pandemi covid-19. Pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara juga terus menurun selama masa pandemi.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan penerimaan pajak hanya sebesar Rp68,5 triliun pada Januari 2021. Jumlahnya turun15,3 persen dari Januari 2020 sebesar Rp80,8 triliun.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyatakan dugaan praktik suap pajak di lingkungan DJP yang kembali terungkap membuktikan pengawasan pemerintah masih bolong. Celah untuk menerima suap atau melakukan korupsi masih menganga lebar di DJP.
"Apalagi, dugaan suapnya puluhan miliar, bukan nilai yang sedikit. Harusnya rasio pajak bisa meningkat dengan kepatuhan WP yang besar-besar, tapi petugas pajak berpihak ke WP bukan berpihak ke negara," ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com, Rabu (3/3).
Menurutnya, celah untuk menerima suap dan melakukan korupsi akan terus terbuka selama pegawai melakukan pertemuan dengan wajib pajak. Ada dua kemungkinan, pegawai menawarkan pembayaran pajak yang lebih murah atau wajib pajak yang meminta pertolongan terlebih dahulu kepada petugas DJP.
"Berawal dari ngobrol-ngobrol, mau konsultasi tanya-tanya pajak, ada yang bisa saya bantu, tolong lah dibantu, bertemu di tempat lain. Setiap ada kontak tatap muka, ada potensi, ada celah," kata Bhima.
Makanya, ia menyarankan agar seluruh sistem pelaporan, konsultasi, pemeriksaan, dan pembayaran pajak dilakukan secara digital. Dengan demikian, tidak ada lagi pertemuan fisik antara petugas pajak dan wajib pajak.
Selain itu, pengawasan dari eksternal juga dinilai kurang optimal selama ini. Pengawasan eksternal salah satunya bisa dilakukan oleh KPK.
Bhima menyarankan KPK seharusnya melakukan langkah preventif untuk mencegah kasus suap pajak. Misalnya, KPK langsung menyadap petugas DJP yang memeriksa wajib pajak dari perusahaan-perusahaan kakap.
"Sehingga penyuapan bisa dihindari sejak awal. Kalau ada gelagat petugas pajak melakukan komunikasi-komunikasi tidak wajar, KPK bisa langsung menegur, itu harus berjalan," ucapnya.
Dia berharap ada langkah tegas dari pemerintah terkait celah praktik suap atau korupsi di lingkungan DJP.
Pemerintah juga harus mengevaluasi remunerasi atau tunjangan yang diberikan untuk pegawai pajak.
"Harus revisi lah itu teori remunerasi besar lalu tidak korupsi, tidak berlaku lagi. Semakin besar remunerasi justru semakin besar hasrat menambah hartanya. Ini momentum tepat untuk evaluasi remunerasi," jelas Bhima.