Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat tipis 0,27 persen dari 6.241 menjadi 6.258 pada perdagangan pekan lalu. Investor asing mencatatkan jual bersih (net sell) senilai Rp357,63 miliar.
Pada awal perdagangan indeks sempat dibuka perkasa. Bahkan penguatan terjadi selama tiga hari beturut-turut.
Namun, penguatan terhenti oleh pidato Gubernur The Fed Jerome Powell yang mengindikasikan bakal terjadi inflasi. Penguatan juga terhenti setelah kekhawatiran investor akan kenaikan yield obligasi 10 tahun AS meningkat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itu menekan indeks di akhir pekan. Pengamat Pasar Modal Riska Afrianti menyebut pada pekan ini, terutama di awal pekan, IHSG bakal bergairah ditopang oleh efek stimulus US$1,9 triliun Presiden Joe Biden yang diklaim telah disetujui Senat.
Persetujuan diambil pada Sabtu (6/3) waktu setempat dan diperkirakan akan disahkan oleh Biden pada Selasa (9/3) mendatang.
Stimulus yang telah ditunggu-tunggu oleh pelaku investor ini diproyeksikan mampu mengantar indeks menguji level 6.175-6.334.
Selain itu, catatan positif neraca perdagangan China untuk Januari-Februari juga bakal menjadi angin segar bagi pasar modal.
Untuk diketahui, China mencatat pertumbuhan kinerja ekspor hingga lebih dari 60 persen. Itu di ditopang oleh ekspor elektronik dan produk tekstil.
Pertumbuhan meroket dari ekspor Januari-Februari 2020 lalu yang merosot 17 persen. Data statistik juga menyebut impor China naik 22,2 persen.
Pada periode yang sama tahun lalu, impor China turun 4 persen. Secara keseluruhan, surplus perdagangan China mencapai $103,3 miliar.
"Selain itu juga akan ada rilis data pertumbuhan GDP Jepang, data inflasi China dan AS, dan data jobless claim (data klaim pengangguran)," katanya kepada CNNIndonesia.com pada Senin (8/3),
Tak jauh berbeda, Riska mengatakan pekan ini indeks akan bergerak fluktuatif. Jelang akhir pekan, ia melihat ada potensi aksi ambil untung investor.
Untuk pekan ini ia menyebut sektor perbankan, aneka industri, dan pertambangan dapat menjadi pilihan.
Seperti pekan lalu, ada potensi saham perbankan buku II-III masih dilirik karena rencana peralihan bank 'mini' menjadi bank digital. Akibat penguatan besar-besaran, Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis (4/3) lalu menyetop perdagangan beberapa saham, seperti PT Bank Harda Internasional Tbk (BBHI), PT Bank QNB Indonesia Tbk (BKSW), dan PT Bank IBK Indonesia Tbk (AGRS).
Lalu PT Bank Bumi Arta Tbk (BNBA), PT Bank Artha Graha Internasional Tbk (INPC), PT Bank Maspion Indonesia Tbk (BMAS), dan PT Bank Capital Tbk. (BACA).
Walau begitu, Riska tak merekomendasikan saham perbankan buku II dan III karena besarnya risiko volatilitas. Dia menyarankan mengoleksi saham berfundamental baik seperti PT BCA (Tbk).
Riska memproyeksikan BBCA dapat menguat menguji level 34.700 pada pekan ini. Adapun level resisten selanjutnya emiten yaitu level 35.225.
Selain BBCA, Riska juga menyarankan memantau beberapa saham aneka industri dan pertambangan yang menurutnya berpotensi berbalik arah alias menguat.
Pertama, ia menyarankan saham PT Astra International Tbk (ASII) dengan target di 5.775. Kedua, saham PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk atau TLKM dengan potensi menuju level 3.520, dan PT United Tractors Tbk (UNTR) dengan target 22.650 dalam sepekan ini.
Sementara, Analis Saham dari Ellen May Institute menyatakan ia mencermati saham-saham di sektor ritel seperti PT Ramayana Sentosa Lestari Tbk (RALS) dan PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI).
Meneruskan momentum penguatan pekan lalu, Ellen menyebut kedua emiten bisa diakumulasi beli dengan target RALS di rentang 945-950. Sementara, dia tidak menetapkan target untuk MAPI.
"Saya untuk MAPI mau hold (pegang) beberapa bulan ke depan, bukan jangka pendek," jelasnya.
Di samping itu, ia juga merekomendasikan saham PT Semen Indonesia (Persero) Tbk atau SMGR. Ia melihat potensi cemerlang saham BUMN ini karena diuntungkan oleh pembangunan infrastruktur mega lewat Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia.
"SMGR salah satu yang paling diuntungkan, mengingat pangsa pasar sebesar 53,1 persen menjadikan SMGR sebagai produsen semen terbesar di Indonesia," katanya seperti dikutip dari riset.
Alasan lainnya memilih SMGR, lanjutnya, kinerja kinclong SMGR selama dua kuartal akhir 2020. Perusahaan mencatatkan pendapatan bersih sepanjang 2020 sebesar Rp35,17 triliun. Angka ini menurun 12,87 persen dari pendapatan 2019 yang mencapai Rp40,36 triliun.
"Kami merekomendasi beli saham SMGR, memanfaatkan teknikal rebound yang terjadi pada MA200 daily dan melihat kemampuan efisiensi biaya SMGR mendorong profitabilitas," tutupnya.ds
(well/agt)