Menengok Alasan Pemerintah Impor Beras Sejak 2017
Indonesia melakukan impor beras selama beberapa tahun terakhir. Padahal, kebijakan tersebut kerap menimbulkan polemik setiap tahunnya mengingat pemerintah ingin mengejar swasembada pangan.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor beras paling banyak terjadi di 2018 lalu yakni 2,25 juta ton senilai US$1,03 juta. Sementara itu, impor beras pada 2017 sebesar 305,27 ribu ton senilai US$143,641 juta dan 2019 sebesar 444,50 ribu ton senilai US$184,25 juta.
Jika ditengok berdasarkan asal negara, mayoritas berasal Thailand yakni 108,94 ribu ton di 2017, 795,6 ribu ton di 2018, dan 53,27 ribu di 2019. Lalu, Vietnam sebanyak 16,59 ribu ton di 2017, 767,18 ribu ton di 2018, dan 33,13 ribu di 2019.
Kemudian, Pakistan sebesar 87,5 ribu ton di 2017, 310,99 ribu ton di 2018, dan 182,56 ribu ton di 2019. Indonesia juga tercatat mengimpor beras dari China, India, Myanmar dan AS dalam tiga tahun terakhir.
Meski impor, namun Indonesia masih memproduksi padi dan beras pada setiap tahunnya. Pada 2017, data produksi masih berupa angka ramalan yang merupakan merupakan hasil keputusan rapat koordinasi bersama BPS dengan Kementerian Pertanian (Kementan).
Pada tahun yang sama, Kementan mengatakan produksi beras mencapai 81,38 juta ton, tumbuh dari tahun sebelumnya sebesar 2,56 persen.
Pada 2018, produksi gabah kering giling (GKG) sebesar 59,2 juta ton. Jika produksi padi dikonversikan menjadi beras, maka setara dengan 33,94 juta ton beras.
Pada 2019, GKG tercatat sebesar 54,6 juta ton atau turun sebanyak 4,60 juta ton (7,76 persen) dibandingkan 2018. Jika dikonversi menjadi beras 31,31 juta ton, atau mengalami penurunan 2,63 juta ton (7,75 persen) dibandingkan 2018.
Tahun lalu, produksi GKG mencapai 54,65 juta ton, naik tipis 0,08 persen atau 45,17 ribu ton dari produksi pada 2019. Jika dikonversikan menjadi beras, maka setara 31,33 juta ton, naik tipis 0,07 persen atau 21,46 ribu dari 2019.
Berdasarkan penelusuran CNNIndonesia.com, terdapat sejumlah alasan pemerintah mendatangkan bahan pokok masyarakat Indonesia itu. Pada 2018 lalu, menteri perdagangan kala itu Enggartiaso Lukita beralasan keputusan impor demi antisipasi kenaikan harga beras.
Pemerintah menduga kenaikan harga disebabkan pasokan beras tidak bisa memenuhi permintaan pasar. Oleh sebab itu, lewat rapat koordinasi terbatas (rakortas) di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memutuskan kuota impor ditambah.
"Itu kami tegaskan diputuskan di rakortas. Kami melihat kebijakan itu sebagai cerminan atas kenaikan harga dan pasokan yang kurang," jelas Enggartiasto.
Kebijakan impor sempat menimbulkan perbedaan pendapat antara Enggar dengan Direktur Utama Bulog Budi Waseso. Buwas, sapaan akrabnya, menilai pemerintah tak perlu lagi mengimpor beras pada paruh kedua 2018 lalu lantaran ketersediaan pasokan beras di gudang Bulog masih sekitar 2,4 juta ton.
Selain itu, Buwas, sapaan akrabnya, juga menganggap impor beras tak perlu dilakukan lantaran Bulog tak memiliki tempat lagi untuk menampung pasokan beras dari impor.
"Perintah kemarin dari Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Perdagangan bahwa kami harus impor 1 juta ton, tapi kami mau taruh di mana beras itu? Kecuali menteri perdagangan menyiapkan gudang atau kantornya beliau mau dipakai jadi gudang beras, itu baru saya akan impor," katanya.