Puluhan ribu buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja (KSPI) akan menggelar aksi pada Senin, 12 April nanti untuk mendesak pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) jelang lebaran dibayar penuh. Bukan dicicil.
Rencana ini merupakan salah satu respons dari munculnya wacana pengusaha yang ingin mencicil pembayaran THR, karena mengklaim masih kesulitan di tengah situasi pandemi covid-19.
Di tengah tarik menarik ini, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengaku masih mengkaji kebijakan terkait skema pembayaran THR, apakah boleh dicicil atau tidak. Sejauh ini, Ida baru menegaskan kalau bonus gaji jelang lebaran itu wajib dibayar oleh pengusaha ke pekerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:Buruh Ancam Gelar Demo Desak THR Tak Dicicil |
"THR itu adalah kewajiban pengusaha yang dibayarkan kepada pekerja. Ini adalah pendapatan non upah yang biasanya diberikan pada saat-saat momentum Hari Raya," ujar Ida dalam keterangan resmi, Senin (5/4).
Menanggapi hal itu, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai sebaiknya pembayaran THR tetap dilakukan sekaligus alias tidak dicicil. Sebab, ada dampak ekonomi yang lebih besar dari skema ini ketimbang pembayarannya tidak penuh dan dicicil kepada pekerja.
"Umumnya, momentum lebaran akan mendorong masyarakat untuk melakukan konsumsi. Semakin banyak THR yang diterima, semakin banyak juga potensi konsumsi yang akan dibelanjakan," ucap Yusuf kepada CNNIndonesia.com.
Apalagi, Indonesia mulai masuk masa pemulihan ekonomi. Tengoklah, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang tembus ke level 53,2 per Maret 2021.
Posisi PMI ini bahkan tercatat yang tertinggi sejak lima bulan terakhir yang sebelumnya juga sudah berada di zona ekspansi karena berada di kisaran 50. Artinya, roda industri sudah mulai bergerak stabil sejak 'porak-poranda' diterjang pandemi.
Hal ini, kata Yusuf, seharusnya sudah bisa membuat dunia usaha mengamankan alokasi pembayaran THR kepada pekerja secara penuh dan tidak perlu dicicil.
"Melihat pemulihan ekonomi yang lebih baik dibandingkan lebaran tahun lalu, jumlah THR seharusnya berpotensi akan lebih besar juga dibanding tahun lalu," jelasnya.
Lagi pula, bila pengusaha atau perusahaan sudah menyisihkan anggaran untuk THR, tentu alokasi untuk kebutuhan lain seharusnya aman-aman saja untuk dipenuhi juga. Toh, THR ibarat gaji karyawan, yang sudah diagendakan rutin menjadi pengeluaran perusahaan.
Tidak cuma dari segi kemampuan industri dan dunia usaha, Yusuf mengingatkan pemberian THR yang penuh dan tanpa cicilan juga penting bagi perekonomian Indonesia secara nasional.
Sebab, bonus gaji itu akan mengalir ke mana saja melalui konsumsi masyarakat, yang notabene merupakan penyumbang terbesar bagi laju perekonomian dalam negeri.
"Kebijakan THR ini tentu akan berkaitan dengan seberapa besar konsumsi akan terdorong pada lebaran nanti, jika bisa tersalurkan langsung tentu akan menjadi ideal karena dengan demikian potensi terdorongnya konsumsi pada suatu waktu akan semakin besar untuk terjadi," terang dia.
Tapi memang, Yusuf tetap tidak menutup mata karena sebagian kecil industri mungkin masih ada yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi. Khususnya, yang level menengah ke bawah karena terguncang masalah modal (likuiditas) dan arus kas (cash flow).
Namun, menurutnya, kebijakan ini perlu digarisbawahi, yaitu hanya berlaku pada industri yang benar-benar sulit saja. Lalu, THR tetap harus dibayar penuh, meski mungkin bisa dicicil.
"Seperti misal pelaku usaha di bidang transportasi perjalanan, jasa perhotelan dan restoran. Plusnya tentu, dengan dicicilnya THR (bagi industri-industri yang tertekan), perusahaan mempunyai likuiditas yang dapat dimanfaatkan untuk membiayai beban operasional dalam beberapa bulan ke depan," paparnya.
Hanya saja, efeknya, tentu akan menunda konsumsi pekerjanya karena mengantongi THR yang tidak penuh dalam satu waktu.