Sementara itu, Emil Salim, ekonom sekaligus mantan menteri negara pengawasan pembangunan dan lingkungan hidup era Soeharto menilai pemindahan ibu kota negara sejatinya tidak serta merta akan memberi hasil pemerataan dan penurunan ketimpangan ekonomi di tanah air. Pasalnya, pembangunan ibu kota baru ibarat mulai lagi dari nol.
"Membangun ibu kota negara di tengah pulau, belum ada jaminan meratakan pembangunan. Jadi perlu realistis," tutur Emil pada kesempatan yang sama.
Di sisi lain, ia menyayangkan ketika pemindahan ibu kota negara terjadi, gedung sejumlah kementerian/lembaga yang selama ini menjadi ikon pembangunan di Indonesia justru akan berubah makna dan fungsi. Padahal, gedung-gedung itu punya nilai sejarah yang besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Cost terbesar adalah historical dari ibu kota proklamasi saat ini yang merupakan pusat perkembangan sejarah akan lenyap dan mau ditukar gulingkan jadi komersial. Bayangkan Kementerian Keuangan jadi mal, bayangkan, ini ngeri, apa faktor ini sudah diperhitungkan? Di sisi lain, bagaimana dampak politik dalam pembangunan ibu kota negara tersebut?" ungkapnya.
Sementara Ekonom INDEF M. Rizal Taufikurahman menilai pemindahan ibu kota negara punya kelebihan dan kekurangan. Dari sisi kelebihan, memang akan menggerakkan pertumbuhan beberapa sektor industri, misalnya pada awal-awal akan menguntungkan konstruksi pada jangka pendek.
Begitu juga dengan penyerapan tenaga kerja di bidang ini dan industri penyedia bahan-bahan konstruksi. Lalu ,pada jangka menengah dan panjang, bisa mendorong geliat industri lain, misalnya konsumer, perumahan, dan lainnya.
Tapi menurut kalkulasi secara menyeluruh, Rizal menilai pemindahan ibu kota negara tidak menguntungkan pertumbuhan ekonomi nasional. Dampaknya, kata Rizal, kemungkinan hanya bisa dinikmati pada kenaikan pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur dan kota-kota di sekitarnya saja.
"Dampak ke pertumbuhan ekonomi nasionalnya kecil sekali, 0,02 persen, baik jangka pendek maupun jangka panjang, meski kalau terhadap ekonomi Kalimantan 2,85 persen sampai 3,61 persen. Ini tidak ada artinya bagi ekonomi nasional," jelasnya.
Begitu juga dengan target menurunkan ketimpangan. Hal ini tak serta merta bisa turun karena yang terbangun cuma Kalimantan Timur sehingga peningkatan status ekonomi masyarakat kemungkinan cuma terjadi di wilayah tersebut.
Menurut Rizal, saat ini pemerintah seharusnya fokus pada penanganan dampak pandemi covid-19 karena hal ini menjadi penentu pembangunan dan pencapaian ekonomi Indonesia ke depan.
Penolakan juga datang dari Anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron karena belum ada pembicaraan yang jelas dan final antara pemerintah dan badan legislatif. Menurutnya, DPR sebenarnya juga masih melihat pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur terlalu jauh dan tidak rasional.
"Dari nalar saya, lebih mempertimbangkan logis atau tidak logis dan perlu atau tidak perlunya memindahkan ibu kota negara dengan berbagai pertimbangan. Memang pernah dibicarakan, tapi belum ada kelanjutannya," pungkasnya.