Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan salah satu tantangan dalam menciptakan mekanisme perdagangan karbon karena tak ada satu pasar global yang menentukan. Masing-masing negara dinilainya memiliki aturan sendiri-sendiri.
"Kesulitannya saat ini adalah tidak ada pasar global. Jadi ada yang terpecah-pecah dan masing-masing punya regulasi sendiri," ujar Sri Mulyani dalam ADB Annual Meeting-Raising the Bar on Climate Ambition: Road to COP26, Selasa (4/5).
Ani, sapaan akrabnya, mengatakan Indonesia saat ini sedang mempersiapkan mekanisme pasar karbon. Nantinya, pemerintah akan menentukan mekanisme harga karbon.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami juga berdiskusi dengan otoritas di sektor keuangan untuk mengontrol mekanisme perdagangan karbon yang kredibel," jelas Ani.
Sementara, ia menilai otoritas sektor keuangan juga perlu ikut memperhitungkan biaya-biaya yang akan timbul akibat perubahan iklim nantinya. Menurut dia, regulasi perdagangan karbon akan sangat penting untuk mencegah masalah perubahan iklim.
Ia juga mengatakan bahwa negara mengalokasikan dana sebesar 4,1 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mengatasi perubahan iklim. Hanya saja, ia tak menyebut secara pasti alokasi dana itu dari APBN fiskal tahun berapa.
Jika dihitung dari APBN 2021 yang target belanjanya mencapai Rp2.750 triliun, maka dana yang dialokasikan untuk mengantisipasi perubahan iklim sekitar Rp112,74 triliun.
Sri Mulyani mendapatkan arahan langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar tak menempatkan perubahan iklim sebagai prioritas kedua.
Oleh karena itu, Kementerian Keuangan tetap mengalokasikan dana untuk mengantisipasi perubahan iklim di tengah pemulihan ekonomi setelah dihantam pandemi covid-19.