Ekonom senior Aviliani membeberkan alasan pertumbuhan kredit bank masih lesu sampai akhir kuartal I 2021. Tercatat, laju kredit terkontraksi 3,77 persen pada Januari-Maret 2021.
Menurut Aviliani, kontraksi ini terjadi karena permintaan (demand) kredit memang belum pulih, khususnya permintaan dari korporasi yang menjadi segmen utama penyaluran kredit bank.
"Demand-nya rendah, tapi kalau ditanya tumbuh tidak? Sebenarnya tumbuh, tapi kalau dari outstanding memang negatif, karena ada yang bayar kredit, ada yang tidak," ujar Avi, sapaan akrabnya, di diskusi Narasi Institute, Jumat (7/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan lain adalah program restrukturisasi kredit. Saat ini, katanya, banyak bank memberikan program restrukturisasi kredit dengan jangka waktu sampai 2022.
"Yang restrukturisasi ini tidak bayar (cicilan), jumlahnya sampai Rp1.100 triliun, itu sekitar 20 persenan dari outstanding kredit, itu direstrukturisasi sampai 2022, jadi memang bank dalam waktu dua tahun tidak keluarkan (kredit baru)," jelasnya.
Bank, sambungnya, juga tentu akan selektif dalam memilih nasabah yang akan mendapat kucuran kredit baru. Sebab, menurutnya, saat ini semua pihak punya risiko akibat kondisi ekonomi yang masih dirundung pandemi.
"Dengan kondisi pandemi, semua punya risiko, tercermin dari CKPN. Jadi, harus dicadangkan, ini dianggap sebagai premi risk, jadi bank juga hati-hati. Begitu juga dengan cost of credit, BCA saja yang paling rendah bunganya, itu cost-nya masih di atas 3 persen, jadi mereka pertimbangkan hal itu," terang dia.
Faktor lain yang juga memberi pengaruh adalah soal tingkat bunga. Saat ini, bunga kredit memang perlahan turun sejalan dengan penurunan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).
Tapi, masih ada bunga yang harus dibayarkan. Maka dari itu, banyak perusahaan yang lebih memilih untuk memenuhi sendiri kebutuhan pendanaannya ketimbang meminjam ke bank.
Kendati begitu, menurutnya, sisi permintaan tetap harus didorong. Maka dari itu, pemerintah perlu memberikan dukungan.
Selama ini, menurut Avi, dukungan dari pemerintah masih dari sisi penawaran alias supply side. Hal ini tercermin dari kebijakan penempatan dana pemerintah di bank untuk menunjang kecukupan likuiditas agar bank punya daya untuk menyalurkan kredit.
Tapi, selama belum ada permintaan, menurutnya, hal ini akan percuma. Maka, perlu kebijakan belanja pemerintah yang benar-benar menggerakkan permintaan, misalnya pada masyarakat yang ingin berwisata.
"Misal ada orang yang ke Bali, itu dikasih korting (diskon) tiketnya 50 persen, jadi demand side ini ada, nanti mereka bayar ke maskapai, kan jadi ada demand side dari yang disubsidi, tapi berdampak ke yang lain (maskapai)," jelasnya.
Avi menilai kebijakan mendorong demand side merupakan kunci untuk memulihkan ekonomi dari sisi konsumsi. Hal ini terbukti ampuh, misalnya berkaca pada pengurangan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) ke kendaraan bermotor.
"Sekarang kendaraan mulai laku, meningkat permintaannya. Jadi belanja pemerintah jangan yang normal-normal saja, belanja juga harus dipercepat karena kalau tahun ini tidak tercapai (pemulihan), tahun depannya lagi jadi susah," pungkasnya.