Menteri Keuangan Sri Mulyani berupaya mengantisipasi dampak pemulihan ekonomi AS dan kebijakan moneter bank sentral AS, The Fed terhadap pembiayaan defisit APBN dari sumber Surat Berharga Negara (SBN).
Sebab, APBN masih membutuhkan dukungan pembiayaan untuk menangani dampak pandemi covid-19.
"Yang perlu dicermati dari rambatan (pemulihan ekonomi AS) adalah potensi penurunan daya dukung investor global untuk pembiayaan defisit fiskal kita dari pasar SBN," ujarnya dalam rapat bersama Komisi XI DPR, Senin (14/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat dan nyata berpotensi memicu aliran modal asing keluar (capital outflow) dari negara berkembang (emerging market) seperti Indonesia.
Percepatan pemulihan ekonomi AS tersebut salah satunya tercermin dari inflasi AS lebih besar dari target yakni 2 persen. Pada Mei 2021 lalu, inflasi AS berada pada posisi 5 persen.
Kondisi tersebut, lanjutnya, berpotensi mendorong capital outflow yang pada akhirnya menekan nilai tukar rupiah dan mengerek imbal hasil (yield) SBN. Sebab, ia menuturkan tidak selamanya pemerintah bisa bergantung dari pembelian SBN oleh Bank Indonesia (BI).
"Saat ini kami masih memiliki SKB satu dengan Pak Gubernur BI dan untuk itu BI bisa melakukan beberapa langkah sebagai standby buyer (SBN). Tapi, ini tentu bukan sesuatu yang akan seterusnya jadi kami juga perlu untuk terus kembalikan penguatan dari sektor fiskal kita dan potensi pembiayaan," ujarnya.
Ani, sapaan akrabnya, mengatakan capital outflow sempat tertahan oleh pernyataan The Fed yang memperkirakan kenaikan inflasi AS hanya bersifat sementara. Untuk itu, The Fed menyatakan belum melihat kebutuhan kebijakan pengetatan moneter.
Namun, Ani memastikan pemerintah akan tetap mewaspadai potensi pengetatan kebijakan moneter AS. Pasalnya, kondisi itu bisa memicu larinya modal asing dari negara berkembang.
Selain itu, sektor tenaga kerja AS juga mengalami pengetatan. Kondisi ini ditunjukkan dari penurunan klaim pengangguran menjadi 376 ribu pada pekan lalu.
Menurut Ani, penurunan klaim pengangguran berpotensi mengerek upah lantaran perusahaan akan berlomba mencari tenaga kerja. Kenaikan upah, kata dia, tentunya akan mengerek kembali inflasi AS pada periode berikutnya.
"Ini hal yang terus kami waspadai, karena meskipun kejadian di AS tapi respons policy (kebijakan) The Fed akan memberikan pengaruh pada seluruh dunia. Biasanya kalau terjadi kenaikan suku bunga di AS berarti capital flow ke negara emerging sangat terpengaruh," katanya, .
Baca juga:Perusahaan Outsourcing Akan Kena PPN |