Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah berencana merazia gudang obat yang dianggap bisa digunakan untuk menyembuhkan covid-19 mulai Kamis (8/7) ini. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan mengatakan tindakan tersebut diambil demi menekan harga obat yang melambung di atas harga eceran tertinggi (HET) di tengah lonjakan covid.
Sebelum mengumumkan rencana itu, ia memang menemukan harga Ivermectin yang semula di bawah Rp10 ribu, kini sudah melonjak.
"Kami harus tindak tegas. Kami sudah peringatkan. Kalau tidak mendengarkan peringatan kami, kami akan tindak tegas," ujar Luhut dalam konferensi pers virtual, Senin (5/7) lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa yang disampaikan Luhut memang bukan isapan jempol. Survei Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan harga obat-obatan untuk pasien covid-19 memang melampaui batas HET yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK 01.07/MENKES/4826/2021 tentang HET Obat dalam Masa Pandemi Covid-19.
Survei yang dilakukan selama PPKM Darurat itu juga mengungkapkan lonjakan harga tertinggi terjadi di wilayah DKI Jakarta. Harga Ivermectin 12 mg kapsul, misalnya, mencapai Rp59 ribu per tablet di Jakarta.
Padahal HET obat tersebut hanya Rp7.500 per tablet. Sementara di wilayah Jawa Timur, harga obat tersebut naik sekitar 20 persen menjadi Rp9.000 per tablet dan di Lampung harganya di kisaran Rp10 ribu per tablet.
Kemudian, harga obat Favipirapir 200 mg tablet dijual Rp55 ribu sampai Rp80 ribu per butir di Jakarta atau di atas HET Rp22 ribu. Di Jawa Timur, harga obat tersebut naik 20 persen dari HET jadi Rp27 ribu.
Sementara, di Lampung harganya Rp22 ribu-Rp65 ribu dan di Bangka Belitung Rp22.500-Rp63.150.
Kenaikan harga juga terjadi pada obat Azithromycin 500 mg (tablet). Di Jakarta obat tersebut dijual sekitar Rp15 ribu-Rp19 ribu atau di atas HET yang hanya Rp1.700 per tablet.
Di Jawa Timur harganya naik 174,36 persen jadi Rp4.664 per tablet. Sedangkan harga Azithromycin 500 mg di Lampung tercatat Rp12.400 per tablet, Bengkulu Rp10 ribu per tablet, Bangka Belitung Rp8.400 per tablet, dan Jambi Rp13.500 per tablet.
Sekretaris Jenderal Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Noffendri Roestam mengatakan lonjakan harga obat-obatan tersebut sebenarnya terjadi pada penjualan non resmi seperti marketplace dan pasar obat tradisional.
Di tempat-tempat penjualan resmi seperti apotek, obat-obatan untuk pasien covid-19 itu masih sesuai dengan HET yang ditentukan Kementerian Kesehatan.
"Kalau harga jual di rumah sakit atau apotek pasti mengikuti harga distributor. Kalau harga online kan bukan harga resmi. Obat-obatan itu tidak bisa tiba-tiba naikkan harga karena dipantau Badan POM dan Kementerian Kesehatan. Farmasi itu industri yang high regulated," ucap Noffendri kepada CNNIndonesia.com, Rabu (7/7).
Namun, tak dapat dipungkiri kenaikan kasus covid-19 belakangan ini turut jadi penyebab lonjakan harga di tempat-tempat tak resmi tersebut.
Seperti diketahui, obat untuk pasien covid-19 merupakan obat keras yang dapat dibeli di apotek menggunakan resep dokter. Ketika kasus tinggi, permintaan ke apotek juga tinggi.
Ini mendorong orang yang tak dapat membelinya di apotek beralih ke jalur non resmi. Di tengah fenomena itu, jumlah obat yang dijual di luar apotek kemungkinan juga terbatas.
Faktor itu yang kemungkinan membuat penjual berani menaikkan harga.
"Sangat tidak imbang supply dan demand. Sekarang kasus kita sudah di atas 30 ribu. Berarti kan permintaan (pasti) tinggi. Industri kan produksi berdasarkan permintaan dan sebelumnya tak ada yang menyangka kasus bisa sampai seperti ini peningkatannya," jelasnya.
Noffendri mengatakan selain itu, kenaikan harga obat-obatan juga disebabkan oleh kurangnya ketegasan pemerintah terutama dalam membasmi peredaran obat di luar apotek.
Selama ini, pemerintah cenderung reaktif dan menutup tempat-tempat penjualan obat tersebut tanpa menelusuri dari mana obat-obatan tersebut didapatkan.
"Kami enggak tahu mereka dapat obat dari mana. Pemerintah itu kan kadang hanya take down penjualnya saja, ya. Apakah pelakunya ditangkap? Kami belum pernah tuh menyaksikan pelaku seperti itu ditangkap kemudian diketahui sumbernya dari mana. Itu kan jarang sekali," jelasnya.
Karena itu lah, ia meminta pemerintah tak hanya menggertak. Ia meminta pemerintah mengambil tindakan tegas kepada para pelaku serta menelusuri asal muasal obat-obatan tersebut.
Jika perlu katanya, pemerintah membuat aturan khusus untuk mempidanakan pelaku yang turut menyebabkan harga melambung obat melambung di atas HET.
"Berbeda dengan industri yang punya pedoman distribusi obat yang baik, kalau di apotek ada standar pelayanan kefarmasian. Kalau terjadi pelanggaran bukan pelanggaran pidana tapi sanksi administratif," jelasnya.
Direktur Pengembangan Bisnis PT Kimia Farma Apotek Muhardiman Diman menuturkan rata-rata penjualan obat di apotek resmi memang harus mengikuti ketentuan HET. Bahkan beberapa di antaranya berlomba-lomba untuk menurunkan harga agar menjadi pilihan konsumen.
Di Apotek Kimia Farma, misalnya, Ivermectin dijual di bawah HET Kemenkes.
"Ivermectin di pers rilis Kemenkes itu kan Rp157.700. Di kami, harganya Rp150 ribu per botol atau Rp7.500 per tablet termasuk PPN. Harga di kami juga tersistem dan terkunci dari pusat jadi bisa dipertanggungjawabkan," jelasnya.
Menurutnya, selain penindakan tegas kepada oknum yang menjual obat-obatan di luar apotek, edukasi masyarakat juga perlu dilakukan. Terlebih obat-obat untuk pasien covid-19 tersebut hanya boleh dibeli dengan resep dokter dan tidak bisa sembarang dikonsumsi.
"Kalau apotek dia sudah pasti komitmen terhadap itu. Soal harga pun begitu, mau itu langka atau tidak tetap kalau melalui jalur resmi pasti harganya normal. Masalahnya apakah masyarakat mendapatkan jalur resmi, itu yang perlu diperhatikan," terangnya.
Sementara itu, Wakil Ketua KPPU Guntur Saragih menegaskan pihaknya bakal memanggil pelaku usaha yang menjadi penyebab lonjakan obat untuk pasien covid-19 melonjak di atas HET.
"Kami memutuskan untuk memasukkan ini dalam proses pemeriksaan dalam rangka penegakan hukum, jadi indikasi-indikasi harga tentunya akan kami periksa lebih lanjut melalui pemanggilan," ujarnya dalam diskusi Forum Jurnalis KPPU, Rabu (7/7).
Menurutnya, langkah hukum perlu dilakukan untuk memastikan apakah perbedaan disparitas harga memang betul-betul disebabkan oleh permintaan yang begitu tinggi.
"Atau memang ada pelanggaran persaingan usaha di dalamnya, baik di tingkat produsen maupun di tingkat supplier dan distribusi," imbuhnya.
Terkait dengan pemberian sanksi, ia menuturkan hal tersebut bakal bergantung dari bukti-bukti yang ditemukan investigator KPPU.
"Tata cara dan urutan investigator kami yang melakukan proses untuk mencapai bukti masuk ke penegakan hukum," ucapnya.
Yang jelas, ia mengingatkan pelaku usaha bahwa sanksi yang akan diberlakukan cukup berat karena mengacu ke aturan baru yakni Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
"Denda maksimum yang bisa diberikan KPPU adalah 10 persen dari sales di pasar bersangkutan atau 50 persen dari keuntungan dari pasar yang bersangkutan. Jadi potensi pelanggaran denda yang akan diberlakukan itu besar apalagi dengan kondisi sekarang ini kita dalam kondisi kritis, darurat. Menanggung beban. Barangkali ini di majelis hakim bisa menjadi faktor yang memberatkan," tandasnya.