Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengubah komitmennya di proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Awalnya, ia ingin proyek tersebut tidak memakai dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun kini keinginan itu berubah. Melalui Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung ia memberikan izin dana APBN dipakai untuk mendukung pembangunan proyek tersebut.
Kebijakan ini diambil karena pembangunan infrastruktur satu ini terkendala dan biaya proyeknya membengkak. Estimasinya, kebutuhan dana proyek semula sekitar US$6,07 miliar atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS) melonjak jadi US$8 miliar atau Rp114,24 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ekonom Indef Nailul Huda menilai pemerintah sebenarnya memang bisa menggunakan APBN untuk infrastruktur. Apalagi, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung merupakan salah satu proyek strategis nasional (PSN).
Tapi, berbagai masalah di balik pelaksanaan proyek tersebut seharusnya bisa menjadi pertimbangan pemerintah untuk menilai apakah wajar bila proyek ini disuntik dana negara. Apalagi, Jokowi selama ini sudah terlanjur berjanji bila proyek ini akan dibangun tanpa APBN.
Ia mengatakan janji ini seharusnya tidak boleh diingkari Jokowi.
"Pemerintah memang dihadapkan pada pilihan proyek strategis yang harus dibiayai oleh APBN," ucap Huda kepada CNNIndonesia.com, Senin (11/10).
Lebih lanjut, menurutnya, proyek ini tidak perlu mendapat APBN karena bukan merupakan infrastruktur dasar. Kereta cepat hanya infrastruktur pelengkap.
Keberadaannya hanya akan melengkapi beberapa infrastruktur penghubung Jakarta-Bandung yang sudah ada saat ini seperti tol maupun kereta.
Ia khawatir kalau Jokowi memaksakan diri untuk menggunakan APBN pada proyek itu nantinya bisa memperlebar kesenjangan konektivitas di Indonesia.
"Jadi ini sebenarnya masalah keberpihakan dan pilihan dari pemerintah. Jika pemerintah memprioritaskan pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung ya berarti pemerintah lebih memilih meningkatkan kesenjangan konektivitas di daerah luar Pulau Jawa dan memprioritaskan lagi konektivitas antar daerah di Pulau Jawa," jelasnya.
Padahal, menurutnya, bukan hal ini kebijakan yang dilakukan pemerintah. Sebab, konektivitas di Jawa sudah relatif baik. Bukan cuma soal proyek kereta cepat, bahkan Jalan Tol Trans Jawa pun sudah lebih dulu terbangun ketimbang daerah lain.
"Ini bisa menimbulkan kesenjangan konektivitas," imbuhnya.
Untuk itu, Huda mengingatkan agar pemerintah bisa pikir-pikir lagi dalam memberikan APBN ke proyek ini.
"Jangan sampai proyek strategis ini lebih banyak menguntungkan pihak lain, seperti China di proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini," tuturnya.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa peran pemerintah melalui APBN masih besar untuk penanganan dampak pandemi covid-19 dan ini yang harus lebih diutamakan. Maka dari itu, kaji lagi berbagai proyek strategis dan pilih mana yang benar-benar mendesak. Jika tidak, tak perlu memberikan APBN ke proyek tersebut.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga meminta pemerintah berhati-hati dalam memberikan dana negara ke proyek ini. Sebab, sangat mungkin membebani APBN yang saat ini punya peran besar bagi kehidupan masyarakat, khususnya kalangan bawah di tengah pandemi.
[Gambas:Video CNN]
"Ada risiko yang harus ditanggung APBN, umumnya berbentuk goverment contingent liabilities," ujar Yusuf.
Risiko ini membuat pemerintah perlu memberikan jaminan langsung kepada setiap pembayaran klaim dari pembiayaan BUMN yang mengerjakan proyek. Risiko lain adalah arus kas APBN bisa saja tidak lancar karena pengeluaran jadi bertambah untuk proyek ini.
"Pada tahun ini saja, dalam peta risiko fiskal, pembangunan infrastruktur oleh BUMN dikategorikan sebagai dalam kategori risiko yang 'sangat mungkin' terjadi," katanya.
Maka dari itu, rencana memberikan APBN ke proyek sangat perlu dikaji lagi. Apalagi, menurutnya, proyek ini sudah bermasalah sejak dari lahir atau perencanaan.
Dari awal, China melalui proposal yang mereka ajukan, mengajukan kebutuhan investasi proyek hanya US$6,07 miliar. Tapi tahu-tahu di tengah jalan biaya investasi bengkak jadi US$8 miliar.
Dengan masalah itu seharusnya proyek kereta cepat tidak layak disuntik dana negara. Misalnya, proyek tidak mendesak tapi biaya yang dibutuhkan besar. Hal ini bisa membuat kucuran dana negara terlalu besar pada proyek ini.
Sementara ketika beroperasi, pemerintah tidak bisa mengenakan tarif yang sesuai dengan investasi yang diberikan, sehingga berpotensi perlu disubsidi.
"Jika ini tidak terjadi pemerintah perlu melakukan penyesuain anggaran, di tengah ruang anggaran yang terbatas, pemerintah harus memilih proyek ingin dibangun dan tentu dalam menentukan prioritas," terangnya.
Bahkan kalau memang perlu, tidak ada salahnya bila proyek ini ditunda dan kemudian dikaji kembali kelayakannya. Menurutnya, hal ini lebih bijak ketimbang pemerintah salah memberikan kucuran APBN pada proyek yang justru bisa menimbulkan kesenjangan.