Faisal Basri, Ekspor Nikel Ilegal dan Isu Tata Niaga Buruk
Larangan ekspor bijih nikel pemerintah sejak 2020 lalu diduga 'dibobol' oleh oknum tertentu. Akibatnya terjadi kebocoran yang mengakibatkan kerugian negara hingga triliunan rupiah.
Dugaan kebocoran disampaikan Ekonom Senior Faisal Basri. Ia menaksir pada 2020 lalu ada 3,4 juta ton ekspor dari Indonesia ke China yang bocor dengan nilai US$193,6 juta atau setara Rp2,8 triliun.
Ia menjabarkan kebocoran terdeteksi dari catatan impor bijih nikel di General Customs Administration of China (GCAC). Sedangkan secara legal pintu ekspor di Indonesia sejak tahun lalu sudah ditutup.
Ia menaksir selama lima tahun belakangan kerugian negara akibat kebocoran ekspor nikel ke China sampai ratusan triliun rupiah.
"Lima tahun terakhir kerugian negara ratusan triliun," ungkap Faisal dalam Core Media Discussion: Waspada Kerugian Negara dalam Investasi Pertambangan, Selasa (12/10).
Pelarangan ekspor bijih nikel tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengamanatkan pelarangan mulai 2 Januari 2020 lalu.
Menurut Faisal, pemerintah sebenarnya bisa melacak potensi kebocoran ekspor bijih nikel. Misalnya, hitung total produksi smelter nikel yang ada di Indonesia dan dibandingkan dengan kebutuhan produsen nikel.
"Cara melacaknya mudah, hitung saja produksi smelter berapa, kebutuhan normalnya berapa, dan dia (industri smelter) beli untuk proses produksi berapa," jelas Faisal.
Lihat Juga : |
Terpisah, Badan Pusat Statistik (BPS) membantah dugaan Faisal. Mereka mengklaim tak ada ekspor bijih nikel ke China pada 2020.
Namun, ia tak menjelaskan lebih lanjut alasan tak ada ekspor bijih nikel pada tahun lalu, apakah karena hanya berdasarkan catatan BPS saja atau kebijakan larangan ekspor dari pemerintah.
"Setelah kami cek, pada 2020 ekspor bijih nikel dan konsentratnya ke China memang tidak ada," ungkap Kepala BPS Margo Yuwono kepada CNNIndonesia.com, Rabu (13/10).
Lantas, seberapa mungkin kebocoran terjadi?
Pengamat Pertambangan dan Peneliti di Alpha Research Database Ferdy Hasiman menyebut ekspor ilegal oknum nakal bisa saja terjadi. Itu juga bukan isu baru.
Masalah itu katanya, bisa terjadi karena tata niaga nikel yang amburadul. Itu membuat pemerintah gampang kecolongan.
Ia mengatakan di atas kertas aturan Kementerian ESDM sejatinya memang bagus dan berpotensi mendatangkan nilai tambah besar kalau saja benar diimplementasikan di lapangan. Tapi, beda praktik lapangan dengan harapan.
Dari pengamatannya di beberapa titik di Sulawesi, ia menyebut sejak 2014 ada saja bongkar muat ekspor bijih nikel ilegal yang tak dicatat negara setiap harinya. Belum lagi praktik false invoicing atau pencatatan kalori komoditas yang tidak sesuai guna mengurangi kewajiban pajak.
Sayangnya, ia melihat itu tidak pernah jadi perhatian pemerintah. Di tengah kebocoran ekspor, pemerintah menurutnya, hanya hanya melihat pasar nikel dari ibu kota.
"Kebijakan sih boleh bagus tapi kan implementasinya hal lain, jadi kalau ditertibkan kita ini negara kaya tapi potensinya banyak yang loss (hilang)," katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (13/10).
Ferdy menyebut kalau kebocoran bisa ditutup, produk hilirisasi nikel atau bijih nikel yang sudah diolah di smelter sebenarnya punya nilai tambah antara 14-18 kali lipat dari bijih nikel mentah, tergantung jenis nikel yang dihasilkan.
Dengan membuat rata-rata nilai ekspor bijih nikel RI di kisaran US$2 miliar per tahun, ia memproyeksikan nilai tambah yang bisa dihasilkan dari ekspor hilirisasi nikel bisa mendatangkan potensi pendapatan hingga US$36 miliar.
Khusus 2021, ia memproyeksikan potensi ekspor nikel senilai US$8 miliar-US$14 miliar bila saja tata niaganya bisa tertib.
Ia mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) boleh saja bangga RI merupakan penghasil bijih nikel terbesar dunia, tapi ia menilai tak ada gunanya bila tak bisa membendung kebocoran yang masih terjadi.
Dari kacamata dia, kebocoran hanya bisa terjadi karena ada kerja sama atau sindikasi antara oknum perusahaan dengan pemerintah, baik pusat ataupun daerah. Sehingga, ia mengingatkan Jokowi untuk tak hanya rajin bikin aturan tapi juga menertibkan anak buahnya.
Walau menggenggam 27 persen nikel dunia, namun ia menilai Indonesia tak bakal punya daya tawar kalau masih marak dijual nikel mentah secara sembunyi-sembunyi.
"Kalau negara tidak tertib ini susah, Presiden Jokowi boleh saja bangga bahwa kita negara penghasil nikel dunia, tapi tidak ada gunanya kalau dia tidak menertibkan orang-orang di bawahnya," papar dia.
Ia menambahkan perlu ada pendisiplinan tata niaga sekaligus pejabat publik yang melibatkan lintas sektoral, seperti Kementerian ESDM, Dirjen Bea Cukai, Kementerian Perindustrian, hingga Kementerian Perhubungan supaya praktek bongkar muat ekspor ilegal di pelabuhan daerah bisa diatasi.
Ferdy menyebut penertiban tata niaga jadi kunci karena toh smelter di RI sudah memadai. Data Kementerian ESDM menyebutkan per Juni 2021 sudah ada 23 smelter yang beroperasi dan ditargetkan pada 2024 mendatang akan ada 53 smelter yang beroperasi.
Di sisi lain, ia menyebut jumlah smelter boleh banyak tapi hati-hati potensi hilirisasi dikuasai pihak asing bila smelter-smelter baru yang dibangun merupakan investasi dari perusahaan luar.
Ferdy juga mengingatkan pemerintah agar tak membuat perusahaan yang tertib selama ini merasa percuma taat hukum kalau penjualan nikel mentah masih marak dilakukan dan tidak disanksi tegas.
Dalam penertibannya, ia menyarankan Jokowi untuk membentuk Satgas khusus yang melacak bongkar muat di pelabuhan hingga administrasi pencatatan.
"Permen sudah bagus hanya implementasi di lapangan dan supervisi di lapangan sangat lemah, karena itu paling penting tata niaga nikel, kerja sama dan koordinasi dengan pemda itu bagian andil dari Kementerian ESDM," jelasnya.