Anak Buah Jelaskan Kronologi Luhut Bisa Dikaitkan dengan Bisnis PCR

CNN Indonesia
Senin, 08 Nov 2021 10:44 WIB
Anak buat Luhut Panjaitan, Septian Hario Seto membantah bosnya mencari untung dalam bisnis tes PCR. Keterlibatan Luhut hanya dilakukan dalam bentuk donasi.
Anak buat Luhut Panjaitan, Septian Hario Seto membantah bosnya mencari untung dalam bisnis tes PCR. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan).
Jakarta, CNN Indonesia --

Anak buah Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan, Septian Hario Seto buka-bukaan soal bagaimana bosnya bisa dikaitkan dengan bisnis PCR. Dalam tulisan yang ia keluarkan di Jakarta pada awal pekan ini ia semua bermula pada Maret 2020 lalu.

Saat virus corona baru masuk ke Indonesia, Septian yang juga merupakan Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan itu mengatakan ia yang baru diangkat menjadi komisaris BNI mendapatkan fasilitas tes PCR dari BNI.

Saat itulah, ia tahu harga tes PCR mencapai kisaran Rp5 juta sampai Rp7 juta untuk 1 orang. Hasil tes PCR itu pun baru bisa diketahui setelah 5 hari.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berkaca dari pengalamannya itulah, ia berfikir masalah harga dan waktu tes PCR perlu diperbaiki. Sebab, kalau tidak, Indonesia bisa keteteran dalam menangani corona.

Tanpa berfikir panjang, Seto mengaku langsung lapor ke Luhut soal masalah itu.

"Saya sampaikan, kita harus bantu soal tes PCR ini. Kalau mengandalkan anggaran pemerintah, akan butuh waktu lama untuk bisa menambah kapasitas PCR ini, dari proses penganggaran, tender, sampai kemudian sampai pembayaran," katanya seperti dikutip dari pengakuan itu.

Setelah itu, Luhut kata Seto, memerintahkannya untuk mencari alat PCR. Biaya yang digunakan untuk membeli alat tersebut merupakan donasi.

Setelah dapat, Seto mengatakan Luhut memerintahkannya untuk mendonasikan alat tes PCR tersebut ke fakultas kedokteran di sejumlah kampus.

Tak hanya memerintahkannya untuk mencari alat tes PCR, Luhut kata Seto juga menghubungi beberapa teman-temannya untuk ikut serta dalam menyumbang alat tes PCR.

"Di sinilah kemudian proses pencarian PCR ini kita mulai," katanya.

[Gambas:Video CNN]

Seto mengatakan usai mendapat perintah Luhut, ia mengontak dekan FK UI, Unpad, UGM, Unair, Undip, Udayana, dan USU guna mendonasikan alat PCR yang telah didapat. Beberapa orang yang ia hubungi ada yang merespons cepat, namun ada juga yang tidak menanggapi sama sekali.

"Mungkin dianggapnya prank kali ya," katanya.

Berdasarkan hasil komunikasi dan diskusi dengan akademisi itu, akhinya pihaknya memutuskan untuk membeli alat PCR dari Roche. Order untuk alat PCR Roche kemudian dilakukan di akhir Maret 2020.

Dalam perjalanannya, ia kemudian bertemu dengan Budi Gunadi Sadikin yang saat itu masih menjabat jadi Wakil Menteri BUMN. Budi juga diperintahkan Menteri BUMN Erick Thohir mencari alat PCR guna rumah sakit BUMN.

Dengan pertimbangan menghindari rebutan alat PCR dengan BUMN, Seto kemudian menawarkan ke Budi untuk memesan alat tes PCR ke Roche secara bersamaan, supaya ordernya bisa lebih besar dan harganya bisa lebih miring.

Setelah itu, pada akhir April 2020, alat tes PCR ini mulai datang dan mulai distribusikan ke sejumlah fakultas kedokteran. Meski demikian, bukan berarti hambatan dalam menggunakan alat tidak ada.

Setelah alat datang, alat itu tak bisa langsung digunakan karena kita harus menunggu reagen PCRnya datang. Awal Mei 2021, reagennya baru datang.

Masalah juga belum selesai. Para lab penerima alat tes itu kemudian juga menyampaikan bahwa mereka butuh VTM (Viral Transport Medium).

"Saya tanya ke mereka barang apa itu. Mereka menjelaskan bahwa VTM ini adalah alat untuk menampung hasil swab yang akan mendeaktifkan virusnya sebelum kemudian bisa dilakukan ekstraksi RNA. Rupanya banyak sekali perintilan material-material yang dibutuhkan untuk melakukan test PCR ini, bukan hanya reagen saja. Di mana kalau salah satu barang enggak ada, tes PCR tidak bisa dilakukan," katanya.

Masalah lain juga muncul. Alat ekstraksi RNA yang dipesan dari Roche tidak bisa didapatkan. Itu terjadi karena suplai barangnya sangat terbatas dan diperebutkan oleh negara-negara lain juga.

Seto mengatakan akhirnya pihaknya memutuskan untuk cari merek lain. Setelah mencari tahu dari masing-masing lab, dapatlah rekomendasi merek Qiagen dari Jerman.

"Kita pesan barangnya. Namun ternyata mereka tidak bisa memenuhi reagennya. Alat ekstraksi RNA ini memang menggunakan closed system, artinya hanya bisa digunakan dengan reagen yang diproduksi mereka sendiri," katanya.

Tak putus asa, ia dan teman-temannya akhirnya putar otak dalam mengatasi masalah itu. Pilihan tertuju ke China.

Ia dan teman- temannya mencari alat ekstraksi RNA dan reagennya. Setelah tanya sana sini, akhirnya ia dapat satu perusahaan yang merupakan afiliasi salah satu universitas di sana. Perusahaan itu bergerak di bidang bioteknologi.

Ia mengatakan alat ekstraksi RNA yang ditawarkan perusahaan itu, harganya lebih murah.

"Kira-kira 1/10 dari harga alat ekstraksi yang diproduksi Qiagen, meskipun kapasitasnya 1/3. Begitu juga harga reagen untuk ekstraksi RNA nya. Yang lebih menarik, mereka juga memproduksi reagen untuk PCR yang bisa digunakan baik dari LC 96 dan LC480 (kedua alat ini adalah open system). Dengan suplai dari Tiongkok ini, kita bisa memberikan donasi lebih banyak alat PCR dan ekstraksi RNA kepada lab-lab kampus itu. Awal Juni, barang-barang ini mulai datang ke Indonesia," katanya.

Ia mengatakan sebelum memutuskan beli, pihaknya telah meminta FKUI untuk melakukan pengujian terhadap barang-barang ini. Hasilnya di luar dugaan, barang itu cukup baik.

Alat ekstraksi RNA nya mudah digunakan dan bisa melakukan ekstraksi dalam waktu 1 jam. Reagen PCRnya pun ternyata memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan yang beredar di pasaran pada waktu itu.

"(Sumbangan) ini berdasarkan kecukupan donasi yang Pak Luhut dan teman-temannya sumbangkan," katanya.

Setelah memberikan donasi itu, Luhut kata Seto menerima telpon dari teman-temannya di China yang mau menyumbang untuk penanganan Covid19 di Indonesia.

Akhirnya, ia bisa memperoleh lebih banyak reagen.

"Satu lab saat itu saya kira bisa menerima 30-50 ribu reagen PCR dan ekstraksi RNA untuk melakukan test ini. Setelahnya, kami minta lab-lab tersebut harus bisa mandiri. Kita tidak bisa mensupport seterusnya karena donasi yang terbatas," katanya.

Di tengah upaya mencari alat tes PCR itu, Seto mengatakan sejumlah teman Luhut mengajak untuk ikut berpartisipasi dalam pendirian lab tes covid yang memiliki kapasitas tinggi (5000 test/hari) dan bisa melakukan genome sequencing.

Tanpa pikir panjang, Luhut menyampaikan kepadanya untuk membantu pendirian lab.

"Akhirnya melalui Toba Sejahtera (yang memiliki dana untuk kebutuhan ini), Pak Luhut ikut mendukung pendirian lab tersebut. Maka lahirlah GSI, setelah itu, kami tidak monitor lagi mengenai GSI ini," katanya.

Seto mengatakan GSI sesuai namanya Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) didirikan dengan semangat solidaritas untuk membantu penanganan pandemic. Sifatnya lebih social entrepreneurship.

Semangat itu dituangkan dalam perjanjian pemegang saham GSI. Dalam perjanjian ada ketentuan bahwa 51 persen keuntungan harus digunakan kembali untuk tujuan sosial.

Karena perjanjian itu, Seto mengatakan sampai detik ini tidak ada pembagian keuntungan seperti dividen kepada pemegang saham. Hasil laba digunakan untuk melakukan reinvestasi terhadap peralatan atau kelengkapan lab yang lain (salah satunya adalah untuk melakukan genome sequencing).

"Jadi keuntungan yang diperoleh GSI digunakan kembali untuk tujuan sosial, seperti memberikan PCR gratis untuk yang tidak mampu, nakes, ataupun orang-orang yang di Wisma Atlit. Mereka bahkan juga membantu Kemenkes untuk melakukan genome sequencing secara gratis untuk mendeteksi varian delta. Model ini lebih sustainable karena tidak mengandalkan donasi," katanya.

Seto mengatakan tidak punya motif apa-apa dalam menjelaskan masalah keikutsertaan Luhut dalam pengadaan alat tes PCR ini. Ia hanya ingin menjelaskan pada saat pertama kali corona masuk ke Indonesia situasi sangat sulit karena alat tes PCR sangat terbatas.

"Pak Luhut dan teman-temannya juga memberikan donasi yang nilainya cukup besar untuk meningkatkan kapasitas PCR di banyak fakultas kedokteran di Indonesia, dan saya yakin banyak pihak lain yang juga berusaha keras untuk membantu dengan berbagai cara supaya kapasitas tes covid melalui PCR pada waktu itu bisa ditingkatkan. Kami tidak ada memikirkan untung-rugi waktu itu," katanya.

Wajib PCR dan Biaya Rp5,2 T per Minggu

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER