Zaini menyadari ancaman kapal-kapal ikan asing, termasuk Vietnam masuk wilayah Laut Natuna Utara. Oleh karena itu, ia berencana membuka investasi untuk kapal-kapal berukuran besar sekitar 100 GT ke atas menangkap ikan di Laut Natuna Utara.
Ia ingin kapal-kapal ikan RI bisa bersaing dengan kapal Vietnam yang kerap masuk wilayah ZEE Indonesia. Ia tidak ingin ikan-ikan di Laut Natuna Utara justru tak bisa dimanfaatkan nelayan sendiri.
"Saya akan undang investasi kapal-kapal besar yang akan kita gunakan di daerah-daerah ini (perairan Natuna) sehingga bisa bersaing dengan kapal-kapal Vietnam. Karena kalau kapal-kapal kecil enggak bisa," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zaini memastikan keberadaan kapal investor di Natuna tak akan menggusur nelayan tradisional. Menurutnya, nelayan kecil bisa ikut di kapal-kapal punya investor tersebut.
Beberapa investor sudah mengajukan izin menangkap di perairan Natuna. Pihaknya membuka pintu juga bagi investor asing. Mereka harus mengikuti aturan yang dibuat pihaknya. Ia tak ingin terulang insiden nelayan dari luar Natuna tak mematuhi aturan sehingga kerap bersitegang dengan nelayan lokal.
Lihat Juga :LIPUTAN KHUSUS NATUNA Wajah Penjaga Natuna: Minim Armada, Kurang Solar, hingga Kapal Tua |
Zaini mengatakan telah membuat ketentuan baru, yakni kapal besar dari luar Natuna wajib berlayar di atas 30 mil laut dari pulau terluar. Ia berjanji akan menindak kapal-kapal besar yang masih bandel dan mencari ikan di wilayah tangkap nelayan tradisional.
"Dia (kapal-kapal besar) hanya boleh di atas. Kalau ketahuan langsung cabut izinnya. Investor kan mampu, dia seharusnya lebih taat aturan," katanya.
Zaini mengatakan di WPP 711, termasuk Natuna setidaknya ada sekitar 600 kapal Indonesia berukuran di atas 30 GT yang tercatat oleh pihaknya.
Selain dari Kepulauan Riau, kapal-kapal itu juga banyak yang berasal dari pulau Jawa. Sedangkan data dari BPS mencatat ada 1.141 perahu tanpa motor, 294 perahu motor tempel dan 2.982 kapal motor yang beroperasi di Natuna.
Dengan catatan jumlah kapal itu, Zaini tidak menampik bahwa di wilayah Laut Natuna Utara, khususnya yang berbatasan dengan Vietnam, masih relatif kosong oleh nelayan Indonesia.
"Kosong, karena itu (nelayan asing) mereka leluasa," ujarnya.
Peneliti Bidang Kemaritiman Pusat Riset Politik BRIN, Anta Maulana Nasution mengatakan tingginya potensi perikanan di WPP 711--khususnya Natuna-- itu tidak diimbangi dengan jumlah nelayan Indonesia yang menangkap ikan hingga wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
"Kalau ZEE sampai 200 mil, jadi dibutuhkan kapal besar di atas 30 GT, karena wilayah yang kosong makanya banyak nelayan Vietnam masuk ke perairan ZEE kita untuk melakukan penangkapan ikan," kata Anta saat dihubungi CNNIndonesia.com belum lama ini.
Anta menuturkan nelayan di Natuna masih banyak yang melaut menggunakan kapal 8 GT hingga 10 GT, sehingga tidak bisa menangkap ke jarak yang jauh.
"Cuma kalau angin lagi bagus mereka bisa jauh, cuman, mereka sampai ke sana ketemu nelayan Vietnam yang lagi garuk ikan di sana," katanya.
Ia bercerita, beberapa waktu lalu mewawancarai sejumlah nelayan Vietnam yang ditangkap aparat di Laut Natuna. Ia menyebut tidak sedikit dari mereka yang tertangkap bukan pertama kalinya.
Ia juga mengatakan setidaknya ada beberapa alasan nelayan-nelayan itu berani hingga ke wilayah Indonesia.
Pertama, mereka berani melaut hingga wilayah Indonesia lantaran adanya broker yang menawarkan. Broker itu, menurut pengakuan nelayan, adalah orang Vietnam.
"Nakhoda kan punya bos, bos-nya itu ditawarkan oleh broker di sana. Ini saya punya surat, udah bisa nangkap di perairan dekat Indonesia. Sepuluh kapal berangkat lah mereka. Tekong-nya (bos) ini taunya boleh," katanya.
Alasan kedua, lantaran industri perikanan di Vietnam sudah sangat maju, dan membutuhkan suplai ikan yang sangat banyak. Di sisi lain, sumber daya yang dimiliki mereka di laut sudah menurun, sehingga butuh pasokan ikan dari laut Indonesia.
"Memang sumber daya perikanan (Indonesia) berlimpah, secara logika kalau enggak melimpah enggak akan kapal Vietnam itu masuk ke ZEE Indonesia," katanya.
Data yang dikumpulkan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), mencatat angka intrusi kapal ikan Vietnam di ZEE Indonesia pernah menyentuh 100 per 110 kilometer persegi pada April lalu. Jika dirata-rata, dalam 1 meter persegi, ada satu kapal ikan Vietnam.
Angka intrusi itu terus menurun hingga September 2021. Penurunan ini diduga karena pemerintah Vietnam sedang menekan penangkapan ikan illegal. Setidaknya sejak Maret sampai September 2021, terdapat 332 kapal Vietnam yang masuk ZEE Indonesia.
Peneliti IOJI Imam Prakoso mengatakan kapal riset China, Haiyang Dizhi 10, terdeteksi berlayar di sekitar area blok migas D-Alpha, Laut Natuna Utara. Imam menyebut di wilayah tersebut terdapat cadangan gas yang besar.
Kapal riset Tiongkok itu terdeteksi berada di Laut Natuna Utara pada akhir Agustus hingga akhir September 2021. Setelah sempat keluar wilayah ZEE RI, kapal riset itu kembali terpantau masuk kembali pada awal Oktober lalu.
Dari pantauan IOJI melalui Automatic Identification System (AIS) dan satelit Sentinel-2, kapal riset China ini berlayar zig-zag dengan membentuk pola seperti sawah.
"Area survei kapal itu adalah area blok migas D Alpha. Mengenai kandungan berapa silahkan klarifikasi ke narasumber yang lebih ahli. Yang jelas secara umum di situ ada cadangan gas yang besar," kata Imam beberapa waktu lalu.
Imam mengatakan berdasarkan laporan CSIS, Laut Natuna Utara memiliki cadangan migas sebanyak 160 triliun kaki kubik gas dan 12 miliar barel minyak.
Kapal riset Haiyang Dizhi 10 ini juga terpantau berlayar di dekat lokasi pengeboran sumur eksplorasi Blok Tuna, dekat perbatasan Vietnam. Sumur ini dikerjakan oleh Premier Oil yang bekerja sama dengan perusahaan Rusia.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS), Marwan Batubara mengatakan area blok migas D Alpha memiliki kandungan gas yang besar. Saat ini blok migas tersebut namanya diubah menjadi Blok Natuna Timur.
"Jadi kalau di Laut Natuna itu memang banyak blok-blok migas, ada yang sudah dieksploitasi, tapi yang paling besar dulu namanya disebut sebagai blok natuna D-alpha. Belakangan diubah menjadi blok Natuna Timur. Nah itu yang paling besar," kata Marwan.
Marwan mengatakan cadangan gas di Blok East Natuna diperkirakan mencapai 222 triliun kaki kubik (TCF). Namun untuk mengembangkan tidak mudah lantaran sekitar 70 persen cadangan gasnya berisi CO2.
"Kalau gas-nya sendiri, bersama CO2 itu 222 TCF. Tapi kandungan CO2 itu di atas 70 persen, maka yang bersih gas saja sekitar 46 TCF. Itu memang sangat besar. Mengalahkan kita yang pernah ada di Aceh, di Kalimantan Timur, atau di Tangguh, atau juga di Masela," ucapnya.
Dengan kondisi itu, Marwan menyatakan untuk melakukan eksploitasi dibutuhkan proses pemisahan dengan teknologi dan biaya tinggi.
Ia pun mendorong pemerintah mencari partner untuk mengeksploitasi gas di sana. Menurutnya, tidak masalah jika pemerintah menurunkan persentase bagi hasil dalam prosesnya. Jika dikembangkan, dari sisi geopolitik, menurutnya juga akan aman dari caplokan China.
"Yang penting sekarang sebetulnya, kita harus cari partner yang bisa imbangi rencana China. Jadi kalau China ada manuver di situ, jelas dia incar gas itu, enggah usah cari-cari alasan. Itu jelas dia memang mau ambil itu. Makanya kan ada istilah, sembilan garis putus-putus itu kan, dia klaim masukin itu ke dalam," ujarnya.
Bupati Natuna Wan Siswandi mengatakan Laut Natuna Utara memang menyimpan cadangan minyak dan gas yang cukup besar. Dari data yang ia sampaikan, cadangan minyak sebesar 11 miliar barel dan gas alam yang mencapai 222 triliun kaki kubik.
"Makanya ada media yang bilang minyak dan gas di natuna itu cadangan yang paling besar di Asia bahkan dunia katanya," ujarnya.
Meskipun demikian, kata Siswandi, pihaknya tak memiliki kewenangan untuk memanfaatkan potensi migas tersebut. Menurutnya, masalah eksplorasi maupun eksploitasi menjadi kewenangan pemerintah pusat.
(yoa/fra)