Presiden Jokowi gerah karena devisa Indonesia terkuras sekitar Rp97 triliun per tahun untuk keperluan berobat 2 juta WNI ke luar negeri, seperti ke Malaysia, Singapura, hingga Amerika Serikat. Maka dari itu, ia ingin membangun rumah sakit (RS) berkelas internasional di Bali, agar bisa memenuhi kebutuhan layanan bagi para orang sakit.
RS tersebut dibangun oleh Kementerian BUMN dan Mayo Clinic mulai tahun ini. Pemerintah menargetkan pembangunan rumah sakit selesai pada Mei 2023. Tak cuma sebagai destinasi kesehatan, nantinya RS internasional di Bali juga diharapkan bisa turut mendongkrak wisata Pulau Dewata.
"Semuanya ke Bali dan Bali akan menjadi tempat destinasi wisata kesehatan dan ini akan menaikkan, meningkatkan wisata orang ke Pulau Bali," ujar Jokowi saat peletakan batu pertama pembangunan RS Internasional Bali, Senin (27/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekretaris Jenderal Asosiasi RS Swasta Indonesia (ARSI) Ichsan Hanafi mengamini keinginan Jokowi. Sebab, menurut Ichsan, sebenarnya ada beberapa RS di Indonesia yang sudah bertaraf internasional dan bisa melayani kebutuhan pasien.
Sebut saja, RS Siloam di Jakarta, RS Mandaya Royal Puri di Tangerang, Santosa Hospital di Bandung, dan lainnya. Mereka semua sudah berakreditasi internasional dan menawarkan beberapa kelas layanan internasional kepada pasien.
"Jadi sebetulnya ada pilihan untuk masyarakat berobat di dalam negeri dengan taraf internasional," ucap Ichsan kepada CNNIndonesia.com.
Hanya saja, Ichsan mengakui mungkin ada faktor-faktor lain yang membuat orang lebih senang berobat ke luar negeri. Misalnya, aspek layanan yang lebih baik, kecanggihan teknologi pengobatan, hingga jarak yang lebih dekat.
Hal ini mungkin terjadi bagi masyarakat di Pulau Sumatera. Daripada harus ke Jakarta, mereka mungkin memang lebih dekat ke Penang, Malaysia atau Singapura. Alasan lain yang tak ketinggalan adalah keinginan pelesir usai berobat.
Bahkan tak jarang, pasien yang ingin berobat sudah sekaligus membuat jadwal jalan-jalan dan daftar belanja di Singapura. Menurut Ichsan, berbagai alasan ini memang tidak salah karena semua kembali lagi ke kenyamanan pasien itu sendiri.
"Karena orang kita juga senang ke luar mungkin," imbuhnya.
Hanya saja, sepakat dengan Jokowi, menurut Ichsan, memang pasar orang berobat ke luar negeri seharusnya bisa digarap oleh Indonesia. Selain karena ada RS-nya, kondisi pandemi covid-19 sebenarnya juga mendukung.
"Karena seharusnya di era pandemi yang sudah dua tahun ini, masyarakat tidak bisa lancar berobat ke luar negeri, jadi berobat di dalam negeri saja. Ini harusnya bisa dimanfaatkan oleh para RS swasta untuk berbenah diri dan mengambil pasarnya," tuturnya.
Namun, hal ini memang tidak semudah 'membalikkan telapak tangan'. Pasalnya, ada banyak hal yang harus ditambah, mulai dari permodalan, sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, peralatan kesehatan, hingga peningkatan pelayanan kepada pasien.
Sepakat, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan ada banyak hal yang perlu dilakukan Indonesia jika ingin benar-benar menangkap pasar dari orang-orang yang selama ini senang berobat ke luar negeri. Sebab, keinginan itu tak cukup hanya dengan membangun satu RS berkelas internasional di Bali.
Contohnya Singapura yang sudah menjadi pusat RS berstandar internasional di Asia Tenggara (ASEAN). Citra Singapura, sambungnya, tak hanya terbangun dari satu atau dua RS internasional yang mereka miliki.
Tapi, citra terbangun secara keseluruhan.
"Bahkan mungkin bukan cuma diakui di ASEAN, tapi dunia, karena dokternya, infrastrukturnya, teknologinya, pelayanannya, semua memang sudah kelas dunia, dan di kita belum ada yang seperti ini, jadi untuk membangunnya perlu terstruktur," ungkap Tauhid.
Yang tak ketinggalan, Singapura punya daya tarik bagi keluarga pasien, meski mungkin lebih banyak pada atraksi wisata terbatas dan pusat-pusat perbelanjaan. Namun nyatanya, hal ini ampuh untuk menarik masyarakat Indonesia untuk berobat ke sana.
"Belum lagi orang-orang kaya Indonesia yang punya aset di Singapura, jadi mereka ke sana sekalian second home based mereka. Jadi kalau pun di Bali nanti ada, tidak serta merta orang akan mau pindah dari Singapura ke Bali," katanya.
Begitu juga dengan Penang di Malaysia. Menurutnya, layanan pengobatan di sana justru lebih murah daripada di dalam negeri, khususnya bagi masyarakat di Pulau Sumatera. Hal ini akan jadi pekerjaan rumah juga untuk Indonesia, apakah bisa mendirikan RS berkelas internasional dengan tarif yang cukup terjangkau bagi masyarakatnya?
"Jadi kalau mau bangun di Bali, Indonesia harus bisa dapatkan dokter-dokter bersertifikat terbaik skala internasional hingga tenaga kerja asing yang memungkinkan untuk ditempatkan di sana," imbuhnya.