Bambang Trihatmodjo menggugat Menteri Keuangan Sri Mulyani yang melakukan pencekalan terhadapnya.
Putra mantan presiden Soeharto ini menggugat dengan nomor perkara 179/G/2020/PTUN.JKT pada 15 September 2020.
Duduk perkara gugatan bermula dari keluarnya Keputusan Menteri Keuangan No.108/KM.6/2020 tanggal 27 Mei 2020 tentang Penetapan Perpanjangan Pencegahan Bepergian ke Luar Negeri terhadap Bambang selaku Ketua Konsorsium Mitra Penyelenggara (KMP) SEA Games XIX-1997.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber, Bambang disebut bertanggung jawab dalam menyediakan seluruh fasilitas SEA Games.
Salah satunya, mengimpor ratusan mobil mewah dengan bea masuk 'khusus' untuk tamu SEA Games.
Setelah pesta olahraga usai, Bambang juga diperbolehkan menjual mobil seharga miliaran rupiah tersebut kepada siapa saja.
Namun, tak jelas ke mana hasil penjualan mobil tersebut kemudian disetorkan.
Padahal, selain hasil penjualan mobil itu, Bambang juga disebut masih diizinkan menikmati uang pajak dari penjualan tiket Sea Games berbulan-bulan setelah pesta olahraga berakhir tanpa pertanggungjawaban yang jelas.
Selain mobil, Bambang juga bertugas menyiapkan penginapan. Tapi sayang, tender penyiapan penginapan gagal.
Akhirnya, Bambang menunjuk Grup Mulia membangun hotel 16 lantai di bekas lapangan tembak Senayan dengan seizin Pemda DKI.
Meski mendapat izin dari Pemda, pihak pengelola hotel menyalahi aturan dengan membangun hotel 40 lantai. Atas dasar itulah kemudian mereka didenda.
Hal ini menjadi masalah di kemudian hari. Pasalnya, denda sebesar Rp15 miliar yang seharusnya disetor setahun setelah penyelenggaraan Sea Games berakhir, molor dibayarkan. Hingga 2004, denda itu belum kunjung diserahkan.
Gubernur DKI Jakarta kala itu Sutiyoso masih menagihkan denda dengan ultimatum akan menyita hotel berbintang lima tersebut lewat PN Jakarta Pusat jika hukuman itu tak segera dibayarkan.
Meski penunjukan proyek dilakukan oleh Bambang, tak jelas campur tangan Bambang dalam proyek hotel mewah tersebut.
Kepala Biro Komunikasi Kemenkeu Puspa Rahayu mengatakan pencegahan dikeluarkan berdasarkan usulan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) DKI. Ia bilang bahwa PUPN DKI telah mencoba memperingatkan Bambang.
Namun yang bersangkutan tak kunjung memenuhi panggilan. Karena itu, surat perpanjangan pun dikeluarkan oleh Kemenkeu.
Pengacara Bambang Trihatmodjo saat itu, Prisma Wardhana Sasmita, menilai surat keputusan perpanjangan pencegahan itu sangat prematur dan kebablasan karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Menurut dia, pelaksana KMP SEA Games itu adalah PT Tata Insani Mukti. Dengan fakta itu pihak yang semestinya diminta pertanggungjawaban adalah perusahaan tersebut.
Menurut Wardhana, Bambang tidak bisa diminta pertanggungjawaban dalam posisinya sebagai Ketua Konsorsium SEA Games 1997.
Karenanya, ia menilai sikap Kementerian Keuangan yang membebankan tanggung jawab kepada kliennya tak adil.
Terlebih, Bambang telah mengamanatkan berbagai kepentingan terkait penyelenggaraan SEA Games saat itu kepada Ketua Pelaksana Harian Bambang Riyadi Soegomo yang juga Direktur Utama PT Tata Insani Mukti.
Hal ini diklaim tertuang dalam perjanjian Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani mantan Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Wismoyo Arismunandar dan Bambang Riyadi Soegomo pada 14 Oktober 1996.
Di sisi lain, ia juga mengaku heran saat ini muncul masalah dana talangan SEA Games 1997. Padahal, selama periode 1998-2006 tidak pernah ada masalah.
Bahkan, menurutnya, PT Tata Insani Mukti sebagai pelaksana konsorsium sudah kooperatif memberikan laporan. Perusahaan tersebut juga dinilai beritikad baik untuk menyelesaikan tanggung jawabnya.
Dari alasan tersebut, Bambang bersikukuh menolak membayar utang dana talangan Sea Games 1997 yang mencapai Rp64 miliar kepada negara. Kuasa hukum Bambang, Shri Hardjuno Wiwoho menegaskan bahwa kliennya tidak ingin mengembalikan utang.
Bambang juga minta Sri Mulyani menutup kasus dana talangan tersebut dan tidak perlu dilanjutkan lagi.
Hardjuno mengatakan sejak awal uang yang diberikan untuk dana talangan pun sumbernya bukan dari APBN, tapi dari pihak swasta, yakni dana pungutan reboisasi dari Kementerian Kehutanan.