Pemerintah mengisyaratkan mengatur pembelian BBM subsidi. Caranya, dengan membatasi konsumsi masyarakat mampu menikmati Pertalite dan Solar.
Tujuannya besar, meringankan beban keuangan negara lewat penyaluran BBM subsidi yang dilakukan PT Pertamina (Persero).
Kok bisa? Iya, Pertamina harus mengimpor sekitar 50 persen untuk bensin dengan harga beli yang tinggi, tetapi harga jualnya masih jauh di bawah harga keekonomian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengatakan pemerintah akan membuat regulasi yang mengatur dua hal, yakni kenaikan harga minyak dunia dan peralihan konsumen dari BBM nonsubsidi ke BBM bersubsidi akibat disparitas harga.
Hal ini nantinya akan diatur dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
"Di dalam perpres tersebut tidak hanya BBM jenis Pertalite yang akan disempurnakan, satu lagi yang lebih krusial BBM jenis Solar karena Solar masih disubsidi meskipun subsidi per liter, tetapi harganya masih sangat murah dibanding dengan Solar nonsubsidi," terang Djoko, Senin (30/5).
Saat ini harga Solar subsidi hanya Rp5.100 per liter, sedangkan harga solar nonsubsidi Rp13 ribu per liter. Artinya selisih harga dari solar subsidi ke non subsidi lebih dari dua kali lipat.
Lihat Juga : |
Padahal, tren harga minyak mentah dunia terus menanjak. Perang Rusia-Ukraina makin membuat harga minyak mentah dunia melambung, serta berimbas pada kenaikan harga Pertamax di dalam negeri yang naik menjadi Rp12.500 per liter.
Namun demikian, pemerintah tak menaikkan harga Pertalite sehingga harga BBM tersebut masih Rp7.650 per liter. Hal ini membuat rentang harga Pertalite dan Pertamax cukup jauh. Alhasil, sebagian konsumen yang sebelumnya membeli Pertamax beralih ke Pertalite.
Pjs. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga SH C&T Pertamina Irto Ginting menuturkan BBM subsidi memang seharusnya diterima oleh masyarakat yang berhak. Oleh karena itu perlu diatur kriteria penerima yang tepat.
"Bahwa dengan ditetapkannya Pertalite sebagai JBKP (Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan), artinya menjadi BBM bersubsidi, maka penyalurannya pun harus tepat kepada masyarakat yang berhak mendapatkan subsidi," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (30/5).
Adapun kriteria penerima BBM bersubsidi, lanjut Irto, sedang dibahas oleh pemerintah. "kriteria dan teknisnya masih dalam pembahasan," imbuh dia.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan memang sudah saatnya pemerintah menentukan kriteria atau membatasi masyarakat mampu penerima BBM subsidi. Dengan demikian, dana subsidi yang berasal dari APBN bisa mengalir kepada mereka yang berhak.
Penerima BBM bersubsidi yang berhak adalah kendaraan umum yang ditandai dengan pelat kuning. "Selain kendaraan pelat kuning, dilarang mengisi Pertalite atau Solar, karena hanya kendaraan umum saja yang harus disubsidi," katanya.
Kendaraan roda dua juga bisa masuk ke dalam kriteria penerima BBM subsidi. Hanya saja, pemerintah harus jeli karena tidak semua masyarakat yang memiliki kendaraan roda dua berhak menerima BBM subsidi.
Lihat Juga :INFO HARGA PANGAN Harga Minyak Goreng dan Daging Ayam Mahal, Hati-hati Dompet Jebol |
Ia menyarankan pemerintah membatasi masyarakat mampu membeli BBM bersubsidi dengan memanfaatkan aplikasi MyPertamina. Dengan aplikasi tersebut masyarakat bisa mengisi data diri yang kemudian akan diidentifikasi sesuai dengan daftar keluarga miskin yang tercatat di Kementerian Sosial (Kemensos).
Sehingga, masyarakat yang tidak masuk dalam kategori miskin yang ada di Kemensos tidak boleh membeli BBM subsidi.
Kemudian, khusus masyarakat yang tidak memiliki smartphone untuk mengakses aplikasi tersebut, pemerintah perlu memberi mereka kartu fisik sebagai tanda penerima subsidi.
"Ini dibuat mudah, masyarakat bisa datang ke kelurahan untuk mendaftar, lalu dari kelurahan yang memasukan data. Selanjutnya, data terkoneksi dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan kemudian mereka dapat kartu fisik," imbuh Fabby.
Tidak hanya itu, ia juga mengatakan pemerintah perlu melakukan pengawasan di lapangan. Hal ini dilakukan agar tidak ada SPBU nakal yang menjual BBM subsidi kepada mereka yang tidak berhak.
Bahkan, Fabby menyebut pemerintah perlu mengatur sanksi tegas untuk SPBU nakal tersebut. Artinya, jika ada SPBU yang menjual BBM subsidi kepada konsumen yang tidak seharusnya bisa dianggap sebagai tindakan kriminal, sehingga ada ancaman hukum.
Lebih lanjut Fabby menuturkan pemerintah bisa saja mengambil opsi untuk menaikkan harga BBM bersubsidi untuk menekan kerugian. Namun, pemerintah harus mengkomunikasikannya secara transparan kepada publik.
Informasi yang harus disampaikan pada masyarakat itu seperti harga minyak dunia sangat mahal dan kemampuan untuk memberikan subsidi terbatas. Pemerintah juga harus memberitahu dengan menaikkan harga BBM subsidi akan berimbas pada inflasi.
Namun, sambung dia, pemerintah harus memberikan jaminan mereka bisa mengendalikan inflasi, sehingga dampak ikutan dari kenaikan harga bahan bakar itu tetap bisa dimitigasi.
Ia menambahkan pemerintah juga harus konsisten dalam mengurangi subsidi BBM. Pemerintah perlu memastikan agar biaya atau penggunaan anggaran bisa dilakukan seefektif mungkin.
Pemerintah juga harus memangkas anggaran yang tidak perlu, sehingga bukan hanya masyarakat yang menanggung beban. "Jadi kita sama-sama mengencangkan ikat pinggang. Itu memberikan contoh pada masyarakat bahwa pemerintah juga serius. Bukan hanya masyarakat yang menanggung tapi pemerintah juga," terang dia.