Lembaga penelitian independen, The International Institute for Sustainable Development (IISD) mengatakan total insentif bahan bakar fosil yang dikucurkan oleh Pemerintah Indonesia mencapai Rp1.153 triliun sejak 2016 hingga 2020.
Senior Policy Advisor and Lead IISD Lourdes Sanchez merinci insentif bahan bakar fosil itu disalurkan untuk minyak dan gas 38,8 persen, batu bara 18 persen, dan listrik 37,3 persen.
"Jadi total insentif untuk mendukung sektor energi bahan bakar fosil mencapai 94 persen," ungkap Sanchez dalam Webinar bertajuk Indonesia's Energy Support Measures: Shifting Support From Fossil Fuels to Clean Energy, Rabu (22/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sanchez mengatakan insentif untuk bahan bakar fosil naik 30 persen menjadi Rp246 triliun. Jika dirinci, insentif untuk listrik berbasis bahan bakar fosil Rp112 triliun, sektor migas Rp74 triliun, dan batu bara Rp61 triliun.
"Perkiraan ini tak sepenuhnya tepat karena sejumlah besar tindakan dukungan tidak dapat diukur karena keterbatasan data," imbuh Sanchez.
Menurut Sanchez, insentif yang diberikan untuk mendukung bahan bakar fosil paling besar dibandingkan dengan biaya yang dikucurkan untuk sumber energi lain.
Pasalnya, total insentif yang diberikan untuk sektor energi mencapai Rp1.225 triliun sejak 2016 sampai 2020, tetapi lebih dari 90 persen diberikan untuk fosil.
"(Energi baru terbarukan) EBT hanya dapat 1 persen dari total dukungan pemerintah," imbuh Sanchez.
Kemudian, 5 persen atau sekitar Rp61 triliun dikucurkan untuk bahan bakar nabati. Lalu, insentif untuk industri baterai listrik diperkirakan hanya Rp19 miliar.
Melihat hal ini, Sanchez mengingatkan Pemerintah RI untuk segera mengalihkan insentif dari fosil menuju energi bersih. Jika tidak, maka jangan harap target emisi nol bersih pada 2060 akan tercapai.
"Dukungan yang tidak proporsional untuk bahan bakar fosil tersebut menguras anggaran publik, menghambat transisi energi bersih Indonesia, dan mempercepat perubahan iklim," tutup Sanchez.