Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga para menteri mulai mengisyaratkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis pertalite.
Belum lama ini Jokowi membandingkan harga BBM di Indonesia dengan Singapura dan Jerman.
Kepala Negara itu mengatakan harga BBM di Indonesia masih lebih murah karena di Singapura dan Jerman masing-masing dijual Rp27 ribu per liter dan Rp31 ribu per liter.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita ini pertalite Rp7.650 (per liter), pertamax Rp12.500 (per liter). Negara lain sudah jauh sekali. Kenapa harga kita masih seperti ini ? Karena kita tahan terus, tapi subsidi makin besar. Sampai kapan kita begini? Ini PR kita semua, menahan harga itu berat," kata Jokowi.
Selain Jokowi, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menyentil masalah kenaikan volume BBM bersubsidi yang di luar kontrol. Menurutnya, lonjakan penyaluran itu membuat alokasi subsidi dan kompensasi energi melebihi pagu anggaran APBN yang mencapai Rp502 triliun pada tahun ini.
"Meskipun APBN-nya bagus, surplus sampai Juli, tapi tagihannya nanti kalau volumenya tidak terkendali akan semakin besar di semester dua," ujar Ani.
Menanggapi sentilan-sentilan dari Jokowi hingga para menterinya, sebenarnya bagaimana dampak kenaikan harga pertalite pada APBN dan inflasi?
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan kenaikan harga subsidi bisa mengurangi beban APBN.
Ia mengatakan jika solar subsidi tidak dibatasi maka jumlah awalnya yang 14,9 juta kilo liter (KL) bisa membengkak hingga 17,3 juta KL. Artinya pemerintah perlu menambah kuota sekitar 2,4 juta KL.
Tauhid menjelaskan harga keekonomian solar berada di level Rp12.119 per liter, sedangkan harga di pasar berkisar Rp7.000 hingga Rp8.000 per liter.
"Karena selisih antara harga perekonomian dengan harga pasar, maka hitungan saya tambahan untuk solar subsidi sekitar Rp16,7 triliun," ujar Tauhid.
Sementara itu, kuota subsidi pertalite sebesar 23 juta KL diperkirakan bisa membengkak hingga 28 juta KL bila tidak terjadi pembatasan. Artinya pemerintah perlu menambah 5 juta KL pertalite.
Selisih antara harga keekonomian pertalite sebesar dengan harga di pasar membuat anggaran bisa berkurang sekitar Rp41,23 triliun jika harga pertalite naik.
Tauhid mengatakan ada cara lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi menambah anggaran subsidi BBM yaitu dengan mengalokasikan dana yang awalnya direncanakan untuk program-program yang bisa ditunda hingga tahun depan.
Ia pun mengatakan kenaikan pertalite pasti menyebabkan inflasi. Kenaikan pertalite juga bisa membuat pertumbuhan sektor lain turun.
"Kalau harga pertalite naik apalagi bersamaan dengan solar maka inflasi naik dan akan mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Hal serupa juga dikatakan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira yang menilai kenaikan harga pertalite bisa sedikit mengurangi beban APBN.
Meski begitu, pemerintah perlu meningkatkan dana belanja sosial kepada orang miskin dan rentan miskin sebagai kompensasi atas naiknya BBM subsidi.
Menurutnya, ketimbang menaikkan harga BBM subsidi, pemerintah perlu memperketat pengawasan solar subsidi untuk kendaraan angkutan di perusahaan pertambangan dan perkebunan skala besar.
"Selama ini tingkat kebocoran solar masih terjadi, dan lebih mudah mengawasi distribusi solar dibandingkan pengawasan BBM untuk kendaraan pribadi karena jumlah angkutan jauh lebih sedikit dibanding mobil pribadi," ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/8).