Melihat data-data ekonomi, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendi menilai peluang Indonesia mengalami stagflasi masih kecil.
"Kalau melihat data yang menggambarkan daya beli masyarakat, seperti penjualan ritel, indeks keyakinan konsumen, indeks PMI manufaktur, ini sebenarnya masih berada pada level yang baik dan menunjukkan tren keberlanjutan proses pemulihan ekonomi," kata Yusuf.
Karenanya, ia mengatakan pemberian bantuan sosial (bansos) menjadi penting untuk mencegah stagflasi. Bicara bansos, bukan sekadar nominal bantuannya, tetapi juga proporsional dalam penyalurannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya pemerintah dalam menyalurkan bantuan ini nanti di akhir periode penyaluran perlu melihat apakah sudah menjangkau tidak hanya kelompok miskin, tapi juga masyarakat menengah sehingga kelompok yang rentan dan hampir miskin," jelasnya.
Sementara itu, menurut Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, Indonesia tetap perlu mewaspadai kondisi stagflasi di Eropa dan AS.
"Tentunya kita perlu mewaspadai berhati-hati lagi karena stagflasi yang berarti kenaikan harga barang atau inflasi yang tidak dibarengi dengan naiknya pendapatan dan kesempatan kerja itu masih ada," kata Bhima.
Ia menjelaskan jika melihat data BPS per Februari ada sekitar 11,5 juta orang penduduk usia kerja yang jam kerjanya belum penuh. Gajinya pun belum penuh atau bahkan menganggur.
Kemudian, ada kenaikan 4,2 juta angkatan kerja baru setiap tahun yang berharap bisa terserap lapangan kerja.
"Mereka ini mau diserap di sektor apa, di sektor high skill sekalipun itu juga mulai menurun serapan kerjanya. Sedangkan sektor yang semi-skill dan lowskill itu masih pemulihan, jadi kita harus mewaspadai kenaikan harga barang bisa memicu stagflasi di Indonesia," terang Bhima.
Dalam hal ini, tantangan ekonomi yang bersifat dinamis bisa diminimalisir dengan tambahan bantalan sosial, mendorong wirausaha serta support dari pemerintah.