Pemerintah Perlu Revisi Perpres 112/2022 Demi Transisi Energi

CNN Indonesia
Kamis, 17 Nov 2022 22:00 WIB
Pemerintah diminta merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112/ 2022 untuk mewujudkan transisi energi menggunakan dana hibah US$20 miliar. (ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI).
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah diminta merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112/ 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik jika ingin mewujudkan transisi energi menggunakan dana hibah dan pinjaman sebesar US$20 miliar atau setara Rp314 triliun (asumsi kurs Rp15.717 per dolar AS).

Dana yang disebut Just Energy Transition Partnership (JETP) itu berasal dari kemitraan Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII), di bawah negara G7.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan ada kontradiksi antara pendanaan tersebut dengan payung hukum yang ada di Indonesia.

Pasalnya, dalam aturan tersebut, masih membolehkan pembangunan PLTU batu bara.

"Anehnya adalah, kalau di dalam JETP seharusnya sudah tidak ada lagi pembangunan PLTU baru, tapi di Perpres 112/2022 itu masih membolehkan pembangunan PLTU di kawasan industri. Ini gak nyambung. Kita dapat pendanaan untuk stop bangun PLTU, tapi di kawasan industri masih diperbolehkan, terutama di kawasan smelter nikel," kata Bhima, dalam konferensi pers Celios, Kamis (17/11).

Sebab itu, ia meminta pemerintah merevisi beleid tersebut. Ia setuju Indonesia melakukan transisi energi, dengan catatan tidak membeda-bedakan PLTU di luar dan dalam kawasan industri karena semua harus dimoratorium.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry turut menyoroti landasan hukum soal transisi energi baru dan terbarukan (EBT) tersebut.



"Ada banyak kontradiksi di situ, tapi landasannya Perpres 112/2022. Kita harus curiga karena Perpres ini lahirnya tepat sebelum atau dalam momen-momen sebelum pertemuan G20 digelar. Jadi itu legitimasi PLTU batu bara baru tetap dibangun," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Kementerian ESDM Andriah Feby Misna merinci peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang diklaim bakal habis total pada 2050.

Ia menjelaskan dalam Perpres 112/2022 memang melarang pembangunan PLTU, kecuali PLTU yang sudah masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 hingga 2030.

Selain itu, ada beberapa syarat yang masih memperbolehkan pembangunan PLTU. Pertama, PLTU yang terintegrasi dengan industri yang berkontribusi pada sumber daya alam dan proyek strategis nasional.

Kemudian, PLTU yang berkomitmen mengurangi gas rumah kaca (GRK) minimal 35 persen dalam waktu 10 tahun sejak beroperasi, baik melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran EBT. Terakhir, PLTU yang dibangun hanya bisa beroperasi sampai 2050.



(skt/dzu)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK