Harga Minyak Terperosok Imbas Kekhawatiran Kenaikan Bunga Acuan AS
Harga minyak terperosok lebih dari tiga persen pada akhir perdagangan Kamis (17/11), waktu AS. Pelemahan terjadi di tengah kekhawatiran kenaikan suku bunga AS yang lebih agresif dan meningkatnya jumlah kasus covid-19 di China.
Tercatat, harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Januari anjlok US$3,08 atau 3,3 persen ke US$89,78 per barel di London ICE Futures Exchange.
Penurunan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$3,95 atau 4,6 persen ke US$81,64 per barel New York Mercantile Exchange.
Lihat Juga : |
"Ini seperti pukulan tiga kali lipat. Kita (pasar) memiliki kasus covid-19 yang meningkat di China, suku bunga terus meningkat di AS dan sekarang kita memiliki pelemahan teknis di pasar," ujar Wakil Presiden Senior Perdagangan di BOK Financial Dennis Kissler, seperti dikutip dari Reuters, Jumat (18/11).
Presiden Federal Reserve St. Louis James Bullard mengatakan aturan kebijakan moneter dasar akan mengharuskan suku bunga acuan naik setidaknya ke sekitar 5 persen. Bahkan, bunga acuan bisa naik di atas 7 persen dengan asumsi yang lebih ketat.
Harga minyak juga tertekan oleh penguatan dolar AS. Penguatan mata uang Negeri Paman Sam membuat minyak yang dijual dengan denominasi dolar AS lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.
Di China, kasus harian covid-19 masih meningkat. Selain itu, kilang-kilang importir minyak terbesar dunia ini juga telah diminta untuk memangkas volume minyak mentah dari Arab Saudi untuk Desember. Pembelian minyak mentah dari Rusia juga melambat.
Kissler memperkirakan tekanan terhadap harga minyak masih berlanjut pada awal minggu depan.
"Pasar benar-benar terperangkap dalam potensi kehancuran permintaan yang serius," kata Analis Price Futures Phil Flynn menambahkan.
Di sisi lain, harga minyak mendapat dukungan dari penurunan stok minyak mentah AS yang lebih besar dari perkiraan 5 juta barel pada pekan terakhir.
Selain itu, pasokan juga mengetat pada November karena OPEC dan sekutunya (OPEC+) menerapkan pengendalian produksi untuk mendukung pasar.