Tarif Orang Miskin dan Kaya Sulit Diterapkan
Ki Darmaningtyas selaku Ketua INSTRAN sekaligus Pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) 2005-2019 dan Dewan Pengawas Indonesia Road Safety Partnership (IRSP) menyampaikan pandangan serupa.
Bagi penumpang KRL yang pendapatannya pas-pasan, seperti cleaning service, penjaga keamanan, penjaga toko, atau pekerja serabutan yang merasa keberatan dengan kenaikan tarif KRL bisa mengajukan keringanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nantinya, mereka yang keberatan akan diberikan tarif sesuai kemampuan. Dengan begitu, Darmaningtyas yakin subsidi tersebut bakal tepat sasaran karena diberikan kepada mereka yang betul-betul memerlukan.
Jika Menhub ingin mereka yang berdasi harus membayar lebih, Darmaningtyas menegaskan secara teknis hal tersebut justru sulit dilaksanakan. Sebab, hampir tidak ada penumpang KRL, baik di wilayah Jabodetabek maupun lintas Solo-Yogya yang menggunakan dasi.
Kalau kata 'dasi' itu sebagai metafor untuk menggambarkan golongan mampu, ia mempertanyakan berapa juta batasan pendapatan mereka yang akan dikelompokkan menjadi golongan mampu dan siapa yang akan melakukan verifikasi.
"Jadi gagasan ini justru lebih rumit diterapkan di lapangan daripada memberikan subsidi yang tepat sasaran," tegas Darmaningtyas.
Menurutnya, solusi yang pas jika dibutuhkan kenaikan tarif KRL adalah naik Rp2.000 untuk 25 km pertama. Lalu, bagi mereka yang tidak mampu bisa mengajukan permohonan subsidi.
Sementara itu, Pengamat Transportasi dan Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna tegas menyebut rencana perbedaan tarif KRL melenceng dari hakikatnya sebagai angkutan umum.
Yayat menyarankan jika Kemenhub ingin menaikan tarif KRL, sebut saja berapa besaran kenaikannya. Namun, jangan memunculkan skema tarif baru, termasuk untuk orang kaya.
Ia menegaskan KRL adalah angkutan umum yang bersifat inklusif atau angkutan untuk semua orang. Jika perbedaan tarif KRL diberlakukan, esensinya sebagai angkutan umum ternodai.
Lihat Juga : |
"Jadi kalau (tarif) orang kaya dinaikkan maka KRL tidak bersifat inklusif lagi. Justru adanya PSO ini membantu mengurangi kemacetan dan jadi daya tarik orang kaya naik KRL ke tempat kerja," ungkap Yayat.
Di lain sisi, Yayat memprediksi bakal ada lonjakan pengguna sepeda motor jika tarif KRL untuk orang kaya resmi diketok. Menurutnya, KRL menjadi moda transportasi pilihan bagi mereka yang tinggal di pinggiran Jakarta.
Kota terdekat Jakarta yang menggunakan sepeda motor adalah Depok dan Bekasi. Jika tarifnya dinaikkan, Yayat menilai pengguna sepeda motor dari dua kota tersebut bisa menembus 80 persen.
"Naik dari kisaran antara 60-70 persen menjadi bertambah 10 persen. Jadi naik jumlah pengguna sepeda motornya. Maka harus jelas dulu arah kebijakan ini siapa yang sebenarnya pengguna KRL," jelasnya.
Pengamat Transportasi sekaligus Dosen Teknik Sipil Universitas Indonesia Andyka Kusuma ikut menyayangkan wacana perbedaan tarif KRL.
Selain menyalahi filosofi angkutan umum, Andyka menilai bakal muncul masalah baru berupa penyalahgunaan tiket. Ia menilai masyarakat bakal mencari celah untuk mengakali kebijakan ini dan menyulitkan operasionalisasi di lapangan.
"Filosofi angkutan umum itu harus dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Pada angkutan massal perkotaan, tidak ada kota di dunia yang membedakan-bedakan kelas perjalanan," tegas Andyka.
Kritik lain juga datang dari Pengamat Transportasi Muslich Zainal Asikin. Muslich menyebut rencana Kemenhub memberlakukan tarif KRL orang kaya adalah kebijakan aneh.
Menurutnya, 2023 adalah tahun sulit di mana pemerintah bakal mengalami kesulitan cash flow akibat pengambilan keputusan yang keliru. Oleh karena itu, Muslich menegaskan tidak perlu ada tarif khusus KRL.
Perbedaan tarif KRL dianggap tidak pro rakyat dan transportasi umum. Pemerintah semestinya fokus meminimalisir semua gangguan yang menghambat produktivitas KRL dengan target bisa diselesaikan tahun depan.
Ia menyoroti gangguan pertemuan sebidang antara kereta dengan lalu lintas lain. Menurutnya, pemerintah harus membangun underpass dan fly over di sepanjang lintasan kereta agar frekuensi KRL bisa semakin tinggi.
"Sehingga waktu perjalanan akan semakin pendek, bukan aneh-aneh dengan membuat kebijakan yang tidak memiliki landasan success story," tegas Muslich.
Jika waktu perjalanan semakin pendek, KRL akan semakin menarik dan jumlah penumpang bisa meningkat. Hal tersebut bakal mengurangi jumlah pemakaian kendaraan pribadi.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana mengatakan tidak tepat jika rasionalitas yang digunakan Kemenhub atas kebijakan tarif KRL orang kaya untuk menurunkan beban subsidi.
Menurutnya, kebijakan tersebut pasti akan mendorong lebih banyak orang membeli kendaraan pribadi, termasuk mobil. Hal ini jelas dapat menambah tingkat kemacetan.
Lihat Juga :KALEIDOSKOP 2022 Krisis Listrik di Negeri Gelimang Batu Bara |
"Naif bila dikatakan kenaikan tarif KRL bagi 'orang kaya' tidak akan mengurangi tingkat permintaan mereka untuk menggunakan KRL. Penurunan permintaan pasti terjadi, apalagi orang kaya memiliki elastisitas yang relatif lebih tinggi untuk beralih ke kendaraan pribadi," jelas Andri.
Efek domino pun akan terjadi, menyasar kepada ketergantungan bahan bakar minyak (BBM) yang sebenarnya juga masih disubsidi oleh pemerintah.
Lebih lanjut, Andri memprediksi naiknya tarif KRL bakal berdampak luas hingga ke pola konsumsi masyarakat. Menurutnya, orang kaya punya kontribusi penting yang tak bisa dikesampingkan.
"Pekerja berpenghasilan tinggi cenderung lebih aktif dalam tingkat konsumsi. Berkurangnya pendapatan yang diambil dari naiknya tarif commuting ini bisa berdampak pada berkurangnya konsumsi di sektor lain yang lebih rawan," jelasnya.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai persoalan tarif KRL tidak sederhana. Sulit mendefinisikan siapa yang mampu dan tidak mampu.
Ia menilai kereta api adalah angkutan umum yang tidak terbatas pada kelompok atau golongan tertentu. Seharusnya pemerintah fokus menyiapkan moda yang aman dan nyaman untuk semua lapisan masyarakat.
Dalam konteks lebih luas, Yusuf melihat momentum kenaikan tarif KRL berbarengan dengan masih relatif tingginya inflasi, baik di tahun ini maupun di 2023.
"Kenaikan tarif KRL tentu juga akan ikut mendorong inflasi masih berada pada level yang tinggi dan ini tentu tidak menjadi ideal bagi upaya untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama mereka yang berkategori pendapatan menengah dan bawah," ujarnya.
Yusuf setuju subsidi harus diberikan kepada orang yang betul-betul membutuhkan, dengan catatan Kemenhub perlu tegas mendefinisikan siapa yang masuk dalam kategori golongan mampu jika ingin memberlakukan perbedaan tarif.
Ia skeptis soal porsi orang kaya yang menggunakan KRL. Yusuf menilai bisa saja sebenarnya KRL ternyata lebih banyak digunakan oleh kelompok menengah ke bawah yang memang wajar masih mendapatkan subsidi dari pemerintah.