Jakarta, CNN Indonesia --
Pagi itu sinar matahari cukup hangat, belum terlalu membakar Jakarta. Yusuf masih santai, ia tampak mulai menikmati suasana sambil menyesap rokok.
Pria berperawakan gempal itu merasa tenang karena sudah merapikan barisan sepeda motor di lapangan parkir kantor cabang PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) di bilangan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Yusuf sudah beberapa tahun bekerja sebagai juru parkir di tempat ini.
Lapangan parkir terletak di bagian belakang gedung kantor cabang. Waktu menunjukkan pukul 10.15 pagi. Area yang berbentuk persegi ini mulai dipenuhi motor yang mejeng, hampir tiga perempatnya sudah terisi. Namun, menurut Yusuf jumlah motor yang terparkir terbilang sepi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengeluh belakangan ini jumlah nasabah yang datang ke kantor cabang mulai berkurang. Hal itu pun terlihat dari pendapatannya dari parkir yang turun.
Yusuf mengaku sekitar satu-dua tahun lalu ia bisa mengantongi Rp200 ribu lebih dari parkir. Tapi, saat ini untuk dapat setengahnya saja sulit.
"Kalau sekarang nyari Rp20 ribu saja belum tentu dapat, dulu sampe Rp200 ribuan, ampun dah," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (18/1).
Yusuf menduga berkurang nasabah yang datang ke kantor cabang seiring dengan digitalisasi sistem perbankan. Ia mengungkapkan jika dulu nasabah mau bayar cicilan sepeda motor atau transaksi lainnya pasti datang ke kantor cabang.
Hari ini, nasabah hampir bisa melakukan hal-hal tersebut dari smartphone mereka. Semua dalam genggaman tangan.
Yusuf pun memaklumi kondisi ini. Menurutnya, daripada capek-capek dan buang ongkos untuk datang ke kantor cabang, mending lewat smartphone saja.
"Karena sekarang sudah zaman mbanking, jadi bisa transfer dari mana aja. Tapi ini berpengaruh juga perkiraan, jadi sepi," tuturnya.
Bergeser ke dalam kantor cabang, derit mesin cetak dan suara khas mesin penghitung uang mengudara di ruangan utama, tanda transaksi masih hidup di tempat ini.
Kendati demikian, suasana di ruangan itu jauh dari kata ramai. Tidak ada antrean, nasabah yang datang hanya tinggal mengambil nomor dan langsung menuju teller.
Tampak hanya ada lima orang nasabah yang sedang berkonsultasi ataupun bertransaksi melalui teller. Dari tiga teller yang tersedia, hanya satu teller yang terlihat sedang melayani nasabah.
Sementara, di bagian konsultasi hanya ada tiga teller yang asik berbincang dengan nasabah. Sedangkan, dua teller lainnya hanya duduk dan sedia menunggu nasabah yang akan datang mengutarakan keluhan.
Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto pun mengamini kalau kantor cabang mulai sepi. Bahkan, ia memproyeksikan transaksi di kantor konvensional akan terus menurun seiring dengan terdigitalisasinya masyarakat Indonesia.
Aestika memaparkan hingga akhir September 2022 tercatat jumlah jaringan kantor BRI berjumlah 8.629 kantor, menurun dibandingkan akhir tahun lalu yakni sebanyak 8.993 jaringan kantor.
"Ke depan, BRI akan terus melakukan penataan jaringan kerja, baik menambah atau mengurangi, agar lebih produktif dan efisien namun tetap efektif dalam memberikan layanan perbankan," imbuhnya.
Ia tak menampik bahwa sepinya kantor cabang karena banyak nasabah yang bertransformasi ke digital. Oleh karena itu, BRI pun mau tidak mau mengikuti pola transaksi nasabah tersebut.
Aestika mengklaim BRI menerapkan konsep hybrid bank dalam perbaikan bisnis proses, inovasi model bisnis, serta tata kelola jaringan kerja yang memadukan digital capabilities, physical network, serta layanan financial advisor.
Ia meyakini harmonisasi ketiganya mampu menghadirkan layanan perbankan yang lebih efektif, efisien, dan terintegrasi sesuai journey customer dan masyarakat Indonesia.
Hal ini juga merupakan jurus dari bank pelat merah itu agar terus relevan dan menjaga nasabah tetap setia. Aestika mengatakan BRI telah memiliki super apps BRImo di mana telah terdapat lebih dari 100 fitur di dalamnya.
Hingga akhir Desember 2022, tercatat user BRImo sudah mencapai 23,85 juta dengan volume transaksi mencapai Rp2.669 triliun.
Di sisi lain, lanjut Aestika, saat ini BRI juga telah memiliki bank digital yakni Bank Raya sebagai digital attacker yang masuk ke ekosistem digital mewakili BRI Group. Ini juga merupakan langkah transformasi digital dari perusahaan.
Menurutnya, strategi tersebut diambil dalam rangka menghadapi era digitalisasi perbankan ditambah dengan persaingan dengan fintech. Sejak 2019, Bank Raya berhasil meluncurkan pinjaman digital melalui aplikasi digital Pinjam Tenang atau disebut PINANG.
PINANG adalah pinjaman berbasis digital yang merupakan produk pinjaman bank berbasis aplikasi.
"Aplikasi PINANG sudah fully digital dengan sistem digital verification, digital scoring dan digital signature," kata Aestika.
Saat ini, transaksi digital di BRI mencapai 98 persen dari total transaksi, sementara untuk transaksi di jaringan kantor konvensional hanya bersisa sekitar 2 persen. Hal ini kian memperteguh sepinya kantor cabang.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Bergeser sekitar 3 kilometer (km) dari kantor cabang Bank BRI Mampang Prapatan, suasana sepi juga terjadi di kantor cabang Permata Bank bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Di tempat ini, keadaan tempat parkir juga lengang kendaraan.
Pemandangan di bagian dalam kantor cabang pun tak ada bedanya. Sejumlah teller memang ada yang sedang melayani nasabah, tetapi beberapa tampak kosong.
Seorang satpam di kantor cabang PermataBank bernama Totok pun menuturkan jumlah nasabah yang datang memang berkurang. Meski demikian, ia mengklaim masih ada nasabah setia yang datang, terutama untuk transaksi tunai.
"Setoran kan harus datang, kalau transfer kan masih bisa di Mobile X. Kalau setoran tunai ke sini (datang ke kantor cabang)," ujarnya.
Mobile X merupakan layanan perbankan digital dari Permata Bank.
Totok menuturkan sebelum pandemi nasabah yang datang ke kantor cabang bisa mencapai 50 orang lebih dalam setengah hari saja. Namun, saat ini yang datang hanya 25 hingga 30 nasabah saja.
Dari jumlah nasabah yang datang itu, ia menambahkan masih ada juga nasabah milenial yang setia hadir ke kantor cabang.
"Kalau yang muda masih ada lah," kata Totok.
Sementara itu, Direktur Perbankan Ritel Permata Bank Djumariah Tenteram menyebut trafik nasabah yang datang ke kantor cabang menurun sejak pandemi covid-19 melanda Tanah Air pada 2020 lalu.
Meski tidak menyebut angkanya, Djumariah mengatakan penurunan itu terjadi imbas pembatasan mobilisasi dan transformasi layanan digital dari pihak bank itu sendiri. Menurutnya, pola baru ini pun turut membuat beberapa kantor cabang tutup.
"Jadi sekarang kita melihat banyak sekali ini bank-bank membatasi atau mengurangi jumlah kantor cabang," ujarnya saat memberikan kelas pada peserta BJA, Selasa (10/1).
Djumariah menilai sejumlah bank mulai tersadar bahwa digitalisasi ini memberikan keuntungan berupa efisiensi dalam beroperasi. Di sisi lain, hal ini juga memberikan kenyamanan kepada para nasabah.
Digitalisasi menurutnya adalah sebuah keniscayaan seiring dengan pola hidup masyarakat yang makin akrab dengan teknologi. Dengan kata lain, perbankan pun harus mampu beradaptasi.
Oleh karena itu, Djumariah mengatakan pihaknya akan terus mengoptimalkan Permata Mobile X untuk menunjang kebutuhan nasabah. Adapun beberapa hal yang menjadi basis utama Permata Bank untuk mengebankan layanan digitalnya itu adalah dengan memperhatikan kemudahan penggunaan, kecepatan, fitur inovatif, dan keamanan.
"Jadi ini beberapa aspek yang memang harus jadi sesuatu yang diutamakan kalau kita ngomong mobile banking," kata Djumariah.
Sekali lagi, digitalisasi itu berimbas pada sepinya kantor cabang tadi. Bahkan beberapa ada yang tutup. Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah kantor cabangnya terus merosot dalam beberapa tahun terkahir.
Lihat saja, pada 2019, dari total 110 bank kantor cabangnya ada 31.127 unit. Seiring waktu jumlah itu pun kian berkurang. Pada September 2021, dari total 107 bank kantor cabangnya 29.688 unit.
Namun, pada Desember tahun yang sama, kantor cabang kembali bertambah menjadi 32.399 unit. Nah, memasuki 2022, jumlah kantor cabang secara konsisten terus terkikis kembali.
Tercatat pada Januari 2022 jumlah kantor cabang ada 28.688 unit. Sedangkan, pada September 2022 jumlah kantor cabang tinggal tersisa 25.380 unit. Jika dihitung, sepanjang Januari-September 2022 ada 3.308 kantor cabang yang tutup.
Meski jumlah kantor cabang menyusut, jumlah dana pihak ketiga (DPK) di bank konvensional malah cenderung meningkat. Hal ini pun seakan memvalidasi upaya bank konvensional yang bertransformasi ke layanan digital tadi, berhasil dalam menarik uang nasabah.
DPK adalah dana simpanan masyarakat yang berupa tabungan, giro dan deposito dalam rupiah dan valuta asing. DPK juga merupakan sumber dana terbesar yang dimiliki oleh bank.
Coba tengok, pada Januari 2022 total jumlah DPK bank umum mencapai Rp7362 triliun. Adapun DPK tabungan mencapai Rp2.404 triliun yang terdiri dari rupiah sebesar Rp2.227 triliun dan valas Rp176,7 triliun.
Pada Maret tahun yang sama, jumlah DPK naik menjadi Rp7.384 triliun. Sedangkan DPK darin tabungan mencapai Rp2.434 triliun atau 33,71 persen dari total DPK. Jumlah DPK tabungan itu terdiri dari Rp2.244 triliun rupiah dan Rp189,98 triliun valas.
Selanjutnya, jumlah DPK kembali melonjak menjadi Rp7.602 triliun pada Juni 2022. Sementara, DPK pada tabungan naik menjadi Rp2.518 triliun yang terdiri dari Rupiah Rp2.326 triliun dan valas Rp192 triliun.
Pada September 2022 jumlah DPK kembali naik menjadi Rp7.647 triliun. Namun, untuk DPK dalam tabungan turun menjadi Rp2.252 triliun.
Oleh karena itu, tak heran Direktur Program Magister Manajemen sekaligus Pengamat Perbankan dari Indonesia Banking School (IBS) Batara Simatupang mengatakan sepi atau tutup kantor cabang bank konvensional berkelindan dengan bermigrasinya nasabah pada layanan digital.
Bank konvensional juga sudah memfasilitasi banknya dengan layanan perbankan digital. Oleh karena itu, menurutnya sepinya kantor cabang bukan karena semua nasabah beralih ke bank digital murni. Terlebih, secara umum nasabah yang membuka rekening di bank digital adalah nasabah yang memiliki rekening di bank konvensional.
Kantor Cabang Bank akan Tetap Eksis
Meski mulai sepi, Batara menilai keberadaan kantor cabang dan bank konvensional akan tetap eksis, apalagi kalau mereka menambah ekuitas.
Menurutnya, bank konvensional itu tidak akan kalah saing oleh bank digital. Sebab, munculnya bank digital memiliki keterbatasan hingga lima tahun kedepan saja.
"Keterbatasannya tentu karena bank digital yang belum mampu melayani transaksi bank yang lebih kompleks, seperti penerbitan Bank Garansi dan SBL (stand by loan), dan LC (sight ataupun usance)," ujarnya.
Batara melihat keberhasilan bank digital saat ini banyak tergantung dari ekosistem kelompok bisnis, bagi yang belum memiliki jejaring ekosistem dalam kelompok usaha, akan terseok-seok menciptakan profit. Apalagi dalam branding, mereka harus banyak bakar duit dalam proses marketing.
Di sisi lain, banyak rekening bank digital sangat tergantung dari perpindahan dari rekening bank konvensional. Fenomena bank digital yang marak belakangan ini, menurut Batara harus diakui sebagai pendulum maraknya layanan perbankan digital, bahkan layanan perbankan digital dapat melampaui layanan yang ada pada digital bank.
Dengan demikian, sebenarnya migrasi generasi milenial ke bank digital, tidaklah sepenuhnya terjadi. Sebagai contoh, rekening payrolls (rekening gaji) hampir semuanya berada di bank konvensional, kecuali payroll pada bank digital itu sendiri.
Otomatis sepanjang perusahaan masih mempercayakan rekening payroll pada bank konvensional, maka sepanjang itu rekening kalangan milenial tetap akan berada pada bank konvensional.
"Apalagi kalau perusahaan dimaksud memiliki ikatan transaksional seperti fasilitas kredit misalnya, maka ini akan menjadi domain bisnis bagi bank konvensional," sambung Batara.
Ia menambahkan bank konvensional juga tidak akan kalah saing oleh bank digital. Sebab, bank digital masih belum mampu melayani pinjaman-yang relatif besar, seperti untuk non-cash loan (ekspor-impor dan trade financing).
Artinya, bank digital sampai saat ini bukanlah pilihan sebagai bank untuk rekening primer, tetapi sebagai rekening sekunder. Terlebih, ukuran di bank digital adalah bukanlah pada banyaknya jumlah rekening, melainkan keuntungan akan tercipta dari banyaknya transaksi bulanan atau dikenal dengan MAU (monthly active users).
Meski begitu, Batara mengatakan di era saat ini bank konvensional harus tetap melakukan hybrid strategy, yaitu dengan melakukan pelayanan secara serentak: layanan cabang secara konvensional dan layanan digital.
Setali tiga uang, Pengamat Perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto juga membenarkan kalau jumlah kantor cabang akan terus berkurang. Namun, ia yakin kantor cabang masih akan tetap ada.
Ia menuturkan digitalisasi operasional perbankan itu tak terelakan. Pasalnya, hal ini lebih memberikan kemudahan kepada pihak bank maupun nasabah.
Untuk pihak bank, mereka bisa menekan biaya pembangunan kantor dan biaya operasionalnya. Sedangkan, bagi nasabah digitalisasi lebih membuat urusan dengan perbankan lebih praktis.
"Saya kira akan berlangsung terus, akan ada pengurangan kantor cabang," ujar Doddy.
Ia pun menegaskan tergerusnya jumlah kantor cabang itu bukan semata-mata karena keberadaan bank digital yang kian marak. Menurutnya, sepi atau tutupnya kantor cabang lebih disebabkan karena bank konvensional sendiri yang menyediakan layanan digital.
Saat ini hampir semua bank konvensional berskala besar memiliki layanan digitalnya sendiri. Dengan begitu, para nasabah bisa melakukan aktivitas perbankan hanya melalui aplikasi.
Di sisi lain, digitalisasi ini pun membuat batas antara bank konvensional dan bank digital kian kabur. Doddy juga mengatakan perbedaan antara bank digital dan bank konvensional hampir tidak ada lagi.
"Sekarang sudah gak cukup lagi mereka bilang 'saya bank digital' karena bank konvensional juga sudah digital," tegasnya.
[Gambas:Photo CNN]
Ihwal alasan kantor cabang bank konvensional akan tetap dibutuhkan, menurut Doody salah satunya karena masyarakat yang ingin menyimpan uang dengan jumlah besar lebih 'tenang' bertransaksi langsung alias tatap muka dengan petugas.
Apalagi, bisnis bank adalah bisnis kepercayaan. Nah, berbicara kepercayaan, nasabah membutuhkan interaksi manusia saat ingin menaruh uang dengan jumlah besar. Hal ini untuk meyakinkan dirinya sendiri.
"Kalau saya taruh uang Rp500 miliar, saya gak ketemu orang (petugas bank), saya gak yakin. Jadi kantor cabang, ya bankir fisik itu saya kira tetap ada, cuma akan jauh lebih sedikit dibanding saat ini, bukan berarti akan hilang," ucap Doddy.
[Gambas:Video CNN]
Catatan redaksi: Tulisan ini merupakan bagian dari tugas akhir penulis sebagai peserta Banking Journalist Academy (BJA) IX yang diselenggarakan oleh Sekolah Jurnalisme AJI dan PermataBank.