Dua pasangan calon (paslon) bakal presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berencana membentuk Badan Penerimaan Negara jika menang Pilpres 2024.
Dalam dokumen visi dan misinya, Anies-Cak Imin menjadikan program pembentukan badan tersebut sebagai bagian dari agenda misi aspek Kelembagaan Keuangan Negara yang berintegritas dan akuntabel, melalui pembagian kewenangan yang harmonis antar instansi.
"Merealisasikan Badan Penerimaan Negara di bawah langsung presiden untuk memperbaiki integritas dan koordinasi antar instansi guna menaikkan penerimaan negara," bunyi misi tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demi meningkatkan penerimaan negara, pasangan itu menargetkan perluasan basis dan perbaikan kepatuhan pajak untuk meningkatkan rasio pajak dari 10,4 persen pada 2022 menjadi 13-16 persen pada 2029.
Lihat Juga : |
Sementara itu, pasangan Prabowo-Gibran memasukkan agenda pembentukan badan tersebut sebagai bagian dari delapan program hasil terbaik cepat untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) ke level 23 persen.
Keduanya berpendapat sebagian pembangunan ekonomi perlu dibiayai dari anggaran pemerintah. Mereka menilai anggaran pemerintah perlu ditingkatkan dari sisi penerimaan yang bersumber dari pajak dan bukan pajak (PNBP).
Untuk mencapai itu, mereka membutuhkan badan khusus untuk mengoptimalkan penerimaan.
"Untuk itu, negara membutuhkan terobosan konkret dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari dalam negeri. Pendirian Badan Penerimaan Negara ditargetkan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap PDB mencapai 23 persen," bunyi dokumen visi-misinya.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira tak heran ide pemisahan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP) dikeluarkan oleh para bacapres. Hal ini, menurutnya, adalah hal lazim yang mencuat jelang Pemilu.
Bhima menilai poin positif pembentukan Badan Penerimaan Negara. Menurutnya, itu dapat memberikan dampak terhadap kewenangan yang lebih luas bagi pengambil kebijakan perpajakan.
Misalnya, ia mencontohkan, jika ingin menerapkan pajak karbon, bisa langsung dieksekusi.
Kemudian contoh lainnya, ingin mengejar pajak kekayaan (wealth tax) juga bisa lebih cepat masuk kantong penerimaan negara.
"Apalagi mau kejar rasio pajak 18-25 persen di 2045 dan Indonesia mau jadi negara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) yang rasio pajaknya tinggi butuh lembaga perpajakan yang superpower," ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com, Rabu (8/11).
Selain itu, menurut dia, koordinasi badan dengan lintas lembaga bisa jadi lebih fleksibel karena langsung di bawah presiden. Itu membuat posisi badan lebih lebih kuat jika dibandingkan dengan Direktorat Jenderal Pajak yang sekarang berada di bawah Kementerian Keuangan.
"Bahkan badan ini bisa langsung diskusi dengan DPR soal strategi perpajakan dan target pajak," tuturnya.
Di sisi lain, Bhima menyebut kelemahan dalam ide ini terdapat pada proses pemisahan yang membutuhkan waktu yang tak sebentar.
Menurut dia, masa transisi yang diperlukan untuk membentuk badan ini bisa memakan waktu 3-5 tahun, tergantung persiapan dari sisi personalia, infrastruktur, dan sistem. Personalia termasuk perubahan struktur baru dan juga masalah budaya kerja.
Ego sektoral di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga penting untuk dilihat. Ia mengibaratkan, jika DJP keluar dari Kemenkeu, maka sebagian wewenang dari menteri keuangan (menkeu) juga akan hilang.
Padahal, rancangan APBN sejatinya dirumuskan bersama Dirjen dan lembaga di bawah kendali menkeu.
Kelemahan lain, Bhima berpendapat anggaran untuk pemisahan DJK tentu tidak murah.
"Namanya bikin lembaga baru pasti ada biayanya. Tapi biaya tadi sebenarnya sepadan dengan potensi penerimaan perpajakan yang lebih besar paska pemisahan DJP dari Kemenkeu," jelas Bhima.
Sementara untuk format badan penerimaan, Bhima mengusulkan bisa mengambil contoh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang langsung bertanggung jawab di bawah presiden.
"Memiliki otoritas mutlak terutama dalam pembentukan peraturan teknis," jelas Bhima.
Sementara Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal berpendapat tujuan pembentukan Badan Penerimaan Negara semestinya dikaitkan dengan target yang juga lebih tinggi, terutama target penerimaan negara dari pajak.
Ia menilai gagasan pembentukan badan tersebut tak akan berpengaruh positif jika tak didasari tujuan target pajak yang lebih tinggi. Apalagi, pembentukan institusi baru berarti akan menambah anggaran baru.
"Jadi intinya, semestinya adalah mendirikan badan penerimaan negara dari infrastruktur yang sudah ada, yaitu dari Dirjen Pajak. Cuma dipisah atau dipecah saja, disintegrasikan dengan Kementerian Keuangan. Karena memang Kementerian Keuangan juga secara kelembagaan memang cukup gemuk," tutur dia kepada CNNIndonesia.com.
Menurut Faisal, Badan Penerimaan Negara berarti Dirjen Pajak dengan infrastruktur yang dibangun dari pusat hingga ke daerah-daerah lainnya.
Dengan itu, ia berharap pembangunan badan tersebut bisa membuat pemerintah lebih gesit dan memiliki kreativitas untuk bisa menggali penerimaan hingga ke daerah dan meningkatkan rasio pajak Indonesia.
Ia pun berharap dengan pembangunan badan itu, Indonesia bisa mencapai target penerimaan pajak dan juga non pajak yang lebih tinggi.
Faisal juga berpendapat Badan Penerimaan Negara semestinya bisa lebih kreatif dalam mengejar pendapatan, termasuk mempermudah proses, sosialisasi dan pendekatan yang lebih baik, hingga pencatatan dan manajemen yang lebih bagus dalam mengejar pajak baru.
Sementara itu, Faisal menjelaskan poin kelemahan dari pembangunan badan baru itu adalah penyesuaian yang terpisah dari induk semangnya. Tak hanya itu, senada dengan Bhima, pembentukan institusi baru tentu akan menambah biaya anggaran untuk restrukturisasi penempatan pejabat-pejabat.
"Dari segi gaji dan sebagainya juga ada kemungkinan penambahan anggaran untuk gaji," kata dia.
Menurut dia, transisi yang dibutuhkan untuk pembangunan ini bergantung dari kelancaran dan tak bisa diprediksikan. Namun, ia melihat transisi ini akan cukup memakan waktu.
(agt)