Segendang sepenarian dengan Rony, Peneliti Next Policy Shofie Azzahrah menilai yang menjadi masalah dari pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12 persen pada kuartal II-2025 adalah pertumbuhan ini tidak sepenuhnya inklusif karena manfaatnya lebih banyak dirasakan kelompok menengah-atas.
Sektor yang berkontribusi besar dalam angka pertumbuhan; perdagangan, transportasi, restoran, dan pariwisata lebih banyak dinikmati masyarakat kelas menengah-atas.
"Sebaliknya, sektor industri pengolahan yang menyerap banyak tenaga kerja justru pertumbuhannya melemah," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, pertumbuhan ekonomi ini juga tidak disertai dengan peningkatan penciptaan lapangan kerja formal. Data BPS per Februari 2025 menunjukkan bahwa 59,4 persen pekerja masih terserap di sektor informal.
Padahal pekerja sektor ini upahnya rendah dan minim perlindungan sosial. Hal ini menandakan bahwa pertumbuhan belum cukup kuat untuk meningkatkan kualitas lapangan pekerjaan.
"Masalah lain adalah daya beli masyarakat bawah yang masih tertekan. Penjualan kendaraan bermotor menurun, dan upah riil buruh tani maupun buruh bangunan stagnan, sehingga kelompok berpenghasilan rendah tidak ikut merasakan manfaat pertumbuhan," katanya.
Shofie mengatakan pemerintah sebenarnya menyadari adanya masalah dalam kualitas pertumbuhan ekonomi. Tetapi langkah yang diambil belum menyeluruh dan komprehensif.
Memang katanya, pemerintah melaksanakan sejumlah program untuk mendorong inklusivitas, seperti bantuan sosial dan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun justru di sinilah muncul kritik, termasuk soal rencana 50 persen dari dana pendidikan akan dialihkan untuk mendukung program MBG.
Akibatnya, ruang fiskal untuk investasi di sektor pendidikan yang seharusnya menjadi kunci peningkatan kualitas tenaga kerja. Padahal tanpa pendidikan yang memadai, masyarakat sulit memperoleh pekerjaan formal dengan upah layak, dan akhirnya hanya terjebak di sektor informal berproduktivitas rendah.
"Dengan kata lain, meskipun pemerintah berusaha menolong masyarakat lewat kebijakan populis jangka pendek, fondasi jangka panjang berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia malah berpotensi terabaikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memang tahu masalahnya, tetapi respons kebijakannya belum fokus pada akar persoalan," katanya.
Jika pemerintah tidak merespons dengan tepat, maka kesenjangan sosial akan makin melebar karena pertumbuhan hanya dinikmati kelompok menengah-atas, sementara masyarakat bawah semakin tertinggal. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpuasan, protes, bahkan instabilitas sosial.
Kemudian, kualitas tenaga kerja akan stagnan. Tanpa pendidikan yang memadai, banyak orang sulit masuk ke pekerjaan formal dan akhirnya tetap bergantung pada sektor informal dengan upah rendah.
Begitu juga pertumbuhan ekonomi menjadi rapuh.
"Jika hanya bertumpu pada konsumsi kelas menengah-atas atau sektor musiman, ekonomi mudah goyah saat daya beli melemah atau harga komoditas turun," katanya.
Shofie mengatakan apabila kesenjangan terus melebar dan pemerintah tidak responsif, potensi gejolak sosial seperti 1998 bukan mustahil terulang.
Pada 1998, krisis ekonomi dipicu oleh lemahnya fundamental, tingginya beban utang, serta runtuhnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Kondisi saat ini, kata Shofie, memang berbeda. Tetapi kalau dibiarkan bisa memiliki risiko serupa 1998; pertumbuhan ekonomi tidak inklusif, daya beli masyarakat bawah yang tertekan, dan kebijakan populis yang berpotensi membebani fiskal seperti MBG.
"Tanda-tanda ketegangan sosial juga sudah terlihat. Gelombang demonstrasi yang meluas di berbagai kota pada Agustus 2025 menunjukkan bahwa masyarakat mulai mengekspresikan ketidakpuasan, terutama terkait kenaikan biaya hidup, pajak tanah, dan kebijakan yang dianggap tidak adil. Jika kondisi ini dibiarkan, risiko akumulasi ketidakpuasan bisa memicu instabilitas politik dan ekonomi," katanya.
(agt)