KULINER KOREA UTARA

Mencecap Korea Utara di Jakarta

CNN Indonesia
Selasa, 30 Sep 2014 14:36 WIB
Makanan Korsel begitu mudah didapatkan di Jakarta. Bagaimana dengan makanan Korut? Rasa penasaran membuat saya mencari tahu restoran Korea Utara di Jakarta.
Mi dingin ikan myeongtae, salah satu menu Restoran Pyongyang (CNN Indonesia/Yohannie Linggasari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Restoran Korea Selatan dapat dikatakan menjamur di Indonesia, terutama Jakarta. Coba saja lewati Jalan Woltermongisidi, sederet restoran Korsel akan Anda temui. Di mal-mal Jakarta pun keberadaan restoran Korsel tidak perlu dipertanyakan lagi.

Bila makanan Korsel begitu mudah didapatkan di Jakarta, bagaimana dengan makanan Korea Utara? Rasa penasaran membuat saya mencari tahu restoran Korea Utara di Jakarta. Saya pun menemukan restoran Pyongyang yang terletak di Jalan Gandaria I Nomor 58, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kabarnya, semua staf di restoran ini berasal dari Korut.

Sudah lebih dari empat tahun restoran ini berdiri. Tahun lalu restoran ini membuka cabang di daerah Kelapa Gading. Selain di Indonesia, juga membuka cabang di Kamboja dan Tiongkok. Waktu operasinya yaitu pukul 11.00-22.00.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekilas, restoran ini tampak seperti rumah. Tembok berwarna merah muda berpadu dengan pilar bangunan yang berwarna hijau muda. Sebuah papan berwarna merah tergantung di depan rumah ini, dengan tulisan ‘Pyongyang Restaurant (Korea)’ berwarna putih. Sebuah lampu menyoroti papan ini agar tulisan terbaca di kala malam.

Kami segera memasuki restoran. Seorang perempuan pramusaji berseragam biru menyapa kami dengan senyuman kecil. Ia lalu mengantarkan kami masuk. Kami memilih meja persegi panjang. Meja dilapisi dengan taplak berwarna kuning dan kaca dengan tebal sekitar 0,5 sentimeter, tampak seperti meja di restoran Padang.

Berbeda dengan restoran Korsel yang bergaya modern disertai kelengkapan teknologi canggih, restoran ini bergaya rumahan. Bagi pengunjung yang ingin mendapatkan kesan seperti makan di rumah sendiri mungkin akan menyukainya.
Tak berapa lama setelah duduk, menu pun diberikan. Menu besar ini menampilkan foto-foto makanan lengkap dengan keterangan makanan dalam bahasa Korea, Inggris, dan Indonesia. Harga makanan berkisar antara Rp 30.000 sampai Rp 300.000.

Para pelanggan merupakan orang asing yang berada di Indonesia. “Pelanggan kami merupakan orang asing yang berkebangsaan Jepang, Korut, Korsel, Malaysia, dan Singapura,” kata manajer restoran yang tak mau disebutkan namanya dalam Bahasa Korea campur sedikit kata-kata Indonesia. Kami sempat menanyakan siapa pemilik restoran ini, tetapi tidak diberi jawaban olehnya.

Pramusaji restoran pada malam itu terdiri dari empat orang gadis Korut. Mereka sesekali melempar senyum kecil kepada kami. Mereka bisa Bahasa Indonesia, tetapi hanya beberapa kata. “Sudah berapa lama di Indonesia?” tanya teman saya. Han Su Ryon (25) menjawab dalam Bahasa Indonesia dengan logat Korea, “Satu tahun.”

Teman saya yang bisa berbahasa Korea kemudian mengobrol dengan Su Ryon. Ternyata ia pernah belajar di Pyongyang University. Ia dan kawan-kawannya ditugaskan selama tiga tahun di Indonesia. Setelah tiga tahun, ia harus kembali ke Korut. “Sudah jalan-jalan ke mana saja selama di Jakarta?” tanya teman saya dalam Bahasa Korea. Su Ryon hanya menggeleng. Para pramusaji di sini memang tidak bebas keluar.

Para pramusaji kemudian menuangkan teh khas Korea, boricha (teh barli). Boricha yang berwarna kuning jernih ini rasanya tawar. Tak berapa lama, mereka menyajikan banchan, atau makanan penyerta yang terdiri dari delapan jenis sayur-sayuran dan telur. Sekitar 10 menit kemudian, makanan yang kami pesan pun datang satu per satu.

Hidangan khas Korea Utara

Berbeda dengan restoran Tiongkok yang menggunakan sumpit kayu atau plastik, Restoran Korea menggunakan sumpit besi. Sendoknya pun berbeda. Orang Korea biasa menggunakan sendok besi yang gagangnya lebih panjang. Di Restoran Pyongyang ini, tempat nasi dan mangkuk mi pun terbuat dari besi.

Salah satu makanan khas Korut adalah mi dingin atau dikenal dengan naengmyon. Kami memasan mi dingin ikan myeongtae. Mi putih disajikan dengan irisan timun dan ikan myeongtae dan kuah merah dingin. Mi tipis ini terasa kenyal. Kuahnya terasa asam dan pedas, berpadu dengan rasa cuka yang menyengat.

Sekilas, mengingatkan pada rasa rujak. Ikan myeongtae terasa lembut di lidah. Rasa amisnya tertutupi oleh rasa kuah mi dingin. Di lidah orang Indonesia, makanan ini mungkin akan terasa asing. Memang, masakan ini sedikit tidak sesuai dengan kebiasaan orang Indonesia yang suka makan mi kuah panas.

Naengmyon merupakan makanan yang populer di Pyongyang, Korut. Makanan ini biasa dikonsumsi saat musim panas. Biasanya, mi kuah ini disajikan dengan es batu untuk meredakan hawa panas. Adapun naengmyeon terdiri dari dua jenis, yaitu mul naengmyeon dan bibim naengmyeon. Mul naengmyeon merupakan mi dengan kuah air daging dan es, sementara kuah bibim naengmyeon menggunakan saus pedas berwarna merah. Harganya Rp 78 ribu.

Kami juga mencoba tumis jamur keumkang. Jamur ini diiris tipis dan ditumis sederhana. Jamur keumkang berwarna putih dengan sedikit warna hitam di atas kepala jamur. Sekilas, masakan ini terasa tawar. Namun, bila dicicip lagi dengan saksama, akan terasa rasa dasar jamur ini sedikit manis. Jamur terasa kenyal namun mudah digigit. Sayang, masakan ini terlalu berminyak.

Jamur keumkang banyak ditemui di Gunung Keumkang, Korut. Menurut Su Ryon, produk-produk makanan yang digunakan di restoran ini memang banyak yang diimpor langsung dari Korut. Misalnya, jamur keumkang yang sulit ditemui di Indonesia. Oleh karena itu, tak heran bila harga sepiring jamur keumkang ini cukup mahal, yaitu Rp 120 ribu.

Makanan selanjutnya yang kami cicipi adalah soondubu jjigae atau sup tofu. Tahu lembut dan kembang tahu berpadu denga kuah merah. Sekilas sup ini terlihat pedas. Namun, ternyata tidak, hanya ada sedikit rasa asin. Bagi orang Indonesia, rasa sup ini mungkin termasuk hambar. Kerang juga menjadi komponen sup ini.

Sayang, kerangnya terasa amis, seperti kurang matang. Kuah yang hambar tidak membantu menutupi rasa amis kerang. Namun, tahu lembut membuat kerang yang amis tersebut termaafkan. Saking lembutnya, tahunya langsung hancur saat menyentuh lidah. Sup ini dihargai Rp 68 ribu.

Tak berapa lama, Pyongyang kimchi yang kami pesan tiba. Lima bongkah kubis yang telah difermentasi tersebut berwarna merah yang berasal dari gochujang (pasta cabai khas Korea). Kimchi bukan lagi makanan yang asing bagi pencinta makanan Korea. Di restoran Korsel pun makanan ini pasti dijumpai.

Kami segera mencicipi Pyongyang kimchi untuk menemukan perbedaannya dengan yang biasa dijumpai di restoran Korsel. Saat kimchi ini baru masuk ke mulut, terasa cuka yang sangat menyengat di lidah. Rasa asam dan pedas baru terasa beberapa saat kemudian. Kawan saya yang dikenal sebagai penggemar berat kimchi ternyata tidak menyukainya. “Cukanya sangat menyengat,” ujarnya. Pyongyang kimchi dijual dengan harga Rp 35 ribu.

Tak lupa kami juga memesan tteokbokki, jajanan tradisional yang sangat populer di Korea Selatan. Kami memang berniat untuk menemukan perbedaan antara tteokbokki yang biasa dijumpai di restoran Korsel dengan yang ada di restoran ini.

Bila melihat ukurannya, tteokbokki yang dijual di restoran ini lebih besar dibandingkan yang biasa kami temui di restoran Korsel. Rasanya kurang lebih mirip dengan yang ada di restoran Korsel, yaitu manis dan agak pedas. Hidangan ini dijual dengan harga Rp 80 ribu.

Makan di restoran Korea rasanya tak lengkap bila tak mencoba sapi panggangnya. Kami lalu memesan seporsi daging sapi panggang. Bila di restoran Korsel pengunjung bisa memanggang sendiri daging yang dipesan, di restoran ini pengunjung cukup duduk manis menunggu daging panggang tiba.

Sapi panggang pun datang. Kami melahapnya ala orang Korea, yaitu dengan mengambil selada, meletakkan daging sapi dan bawang putih di atasnya. Kemudian, selada digunakan membungkus daging tersebut. Barulah daging ini siap dimasukkan ke mulut. Minyak dari daging sapi bercampur dengan bawang putih dan serat-serat dari daun selada menghasilkan rasa yang lebih kaya. Sapi panggang dijual dengan harga Rp 140 ribu.

Restoran yang banyak dikunjungi oleh orang asing ini juga menyajikan makanan babi. Kami kemudian mencoba tumis sam gyeop sal. Sam gyeop sal merupakan daging pada bagian perut. Karena diambil dari bagian perut, maka kandungan lemaknya pun tinggi. Daging babi ini disajikan dengan kecap manis. Rasanya agak mirip dengan yang biasa disajikan di restoran Tiongkok. Harganya Rp 150 ribu untuk sepiring sam gyeop sal yang terdiri dari 10 irisan daging tipis.

Sayang, beberapa gambar di menu ternyata menipu. Beberapa masakan tak mirip dengan yang ada di menu. Misalnya, tumis sam gyeop sal ini. Di menu, daging terlihat lebih tebal, sementara aslinya ternyata jauh lebih tipis. Selain itu, minuman juga tidak tercantum di menu. Kami harus menanyakan langsung pada pramusaji, barulah mereka mencarikan.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER