PEKAN CITA RASA

Koki Perancis, Jembatan Lidah dan Budaya

CNN Indonesia
Kamis, 16 Okt 2014 06:06 WIB
Koki Gerald bercerita, memfasilitasi anak untuk mengeksplorasi makanan dengan indera penciuman sudah menjadi tradisi tersendiri di Perancis.
Pekan Cita Rasa 2014 yang sudah kali kedua diadakan di Indonesia merangkul 800 siswa serta 19 koki Perancis. (CNN Indonesia/ Yohannie Linggasari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Belasan siswa sekolah dasar terlihat fokus menghias adonan kue dengan cokelat bulat warna-warni. Mereka letakkan di atas adonan, lalu dibentuk seperti wajah manusia. Sang koki, orang dewasa di ruangan itu, kemudian mendatangi anak-anak yang tengah sibuk menghias adonan.

“Ini warna apa?” tanya koki Gerald A. Maridet dalam bahasa Indonesia, sambil menunjuk adonan. “Hijau!” ucap anak-anak berseragam batik itu, serentak. “Apa bahasa Perancis hijau?” Gerald bertanya lagi. Ia memang koki asal Negeri Menara Eiffel itu. Beberapa anak menjawab ragu, “Vert.”

Sebagian lainnya saling berbisik, membuat ruangan terasa sedikit riuh dengan dengungan. Masing-masing sibuk bertanya, benarkah vert adalah bahasa Perancis untuk hijau. Sang koki yang menggunakan topi beret hitam akhirnya berkata, “Ya, benar. Vert!”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Acara itu merupakan salah satu kegiatan Pekan Cita Rasa, atau La Semaine Du Gout dalam bahasa Perancis. “Kami bermaksud memberi kesempatan bagi anak-anak untuk mengeksplorasi berbagai bau makanan serta rasanya,” kata Gerald di Institut Prancis di Indonesia (IFI), Jakarta, Rabu (16/10).

Gerald bercerita, memfasilitasi anak untuk mengeksplorasi makanan dengan indera penciuman sudah menjadi tradisi tersendiri di Perancis. Kegiatan itu biasanya berlangsung seminggu. Anak-anak yang datang ditutup matanya, kemudian diminta mencium makanan.

“Banyak anak tidak tahu nama atau aroma makanan. Melalui kegiatan seperti itu, mereka belajar jenis-jenis makanan serta baunya,” kata Gerald.

Tradisi itu digagas oleh seorang jurnalis kuliner, Jean-Luc Petitrenaud pada 1990. Itu dilakukan agar para koki dan profesional di bidang kuliner dapat menularkan renjana mereka kepada publik junior. Konsep itu diadaptasi di berbagai belahan dunia, Tiongkok, Jepang, Australia, Spanyol, dan Malaysia.

Gerald mengatakan, konsep Pekan Cita Rasa meniru tradisi tersebut. “Awalnya mereka memang malu. Namun, kemudian mereka bisa asyik sendiri ketika menghias makanan,” ujar koki yang bekerja di Hotel Pullman, Jalan M. H. Thamrin, Jakarta itu.

“Indonesia punya banyak jenis rempah. Anak Indonesia sering melihat ibunya menggunakan rempah saat memasak. Namun, mereka seringkali tidak tahu apa nama rempah itu,” Gerald melanjutkan.

Menurutnya, seharusnya itu diajarkan mulai di sekolah. Pengetahuan kuliner sejak dini itu penting, kata Gerald. “Di Indonesia banyak makanan yang digoreng sehingga kurang sehat. Hari ini kami ajarkan seperti apa makanan sehat,” ucapnya, kemudian tersenyum.

Anak-anak pun terlihat antusias. “Seru sekali. Saya memang suka bikin kue dengan ibu,” kata salah satu peserta, Farizky Irfansyah (10). Bocah kelas IV SD itu mengaku lebih mudah memahami pelajaran bahasa Perancis dengan metode Pekan Cita Rasa ketimbang di kelas.

“Acara ini sangat bermanfaat karena anak-anak dapat langsung praktek berbicara bahasa Perancis serta senang karena membuat kue,” kata Wali Kelas, Afri Fitrianingsih.

Sementara itu, Koordinator Pekan Cita Rasa Nabila Hakikat mengatakan, tujuan utama acara itu memang mengedukasi kaum muda akan dunia kuliner. Menurutnya, program itu tepat untuk orang Indonesia. “Orang Indonesia cinta makanan,” kata Nabila.

Ia juga mengatakan, koki Perancis cukup disambut baik di Indonesia. Menurutnya, mereka bisa menjadi jembatan budaya antara Indonesia dan Perancis, sehingga lebih kenal satu sama lain.

“Ini bukan hanya tentang dunia kuliner, tetapi juga tentang gastronomi dan keanekaragaman,” katanya. Pekan Cita Rasa 2014 sudah kali kedua diadakan di Indonesia. Acara yang diadakan IFI itu merangkul 800 siswa serta 19 koki Perancis dan Indonesia dalam beragam lokakarya memasak.

Minim sekolah kuliner

Gerald telah mengenal Indonesia selama lebih dari 15 tahun. Pada tahun 1993, ia memulai kariernya di Indonesia sebagai koki. Meski harus berpindah ke negara lain pada tahun 1997, ia mengaku tidak pernah bisa melupakan Indonesia.

“Selalu ingin kembali lagi. Barulah sekarang bisa terwujud,” kata koki yang fokus membuat makanan penutup manis itu.

Berbekal pengalamannya melatih koki-koki muda tanah air, Gerald menyimpulkan sekolah kuliner di Indonesia masih sangat minim. “Banyak anak Indonesia yang ingin jadi koki. Oleh karena itu, mereka butuh fondasi yang kuat dengan masuk sekolah kuliner. Sayangnya, di Indonesia pendidikan kuliner masih lemah,” katanya.

Ia membandingkan sekolah kuliner Indonesia dengan Perancis. “Di Perancis, sekolah kuliner sudah sangat memadai. Banyak orang Indonesia yang bermimpi jadi koki akhirnya ke Perancis atau negara Eropa lainnya untuk sekolah kuliner,” kata pria yang mengaku senang mengajar ini.

Namun, menurutnya, orang Indonesia tetap harus bisa menguasai teknik memasak khas Nusantara. “Jadi ketika belajar ke luar negeri, bisa menguasai dua keahlian memasak,” katanya.

Menurut Gerald, teknik memasak Indonesia sangatlah kompleks.

Untuk menjadi koki yang baik, kata Gerald, kaum muda harus punya mentor yang baik. Sebagai mentor, Gerald mengaku beberapa kali bersikap keras pada siswa. “Namun, mereka tahu bahwa ini untuk kebaikan mereka. Bila mentor Anda keras, yakinlah itu demi kebaikan Anda,” katanya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER