KESAKSIAN DOKTER

Saat Dokter Bicara Kematian Pada Pasien

CNN Indonesia
Rabu, 22 Okt 2014 12:13 WIB
Kematian tidak pernah menjadi percakapan mudah. Ini adalah kesaksian seorang dokter soal berbicara jujur tentang kematian pada pasien.
Ilustrasi dokter dan pasien (Getty Images/monkeybusinessimages)
Jakarta, CNN Indonesia -- Percakapan kematian tidak pernah mudah, tapi para dokter harus mengatakan kebenaran. Perawatan bagi pasien kritis tidaklah pasti, perintah untuk tidak melanjutkan perawatan bagi pasien pun menjadi hal rumit. Ini adalah kesaksian seorang dokter soal berbicara jujur tentang kematian pada pasien. 

Tidak ada tanda-tanda ruangan tersebut habis dikunjungi staf perawat saat saya masuk ke ruang Tuan Hamble. Hanya wajah serius sang anak yang menyambut saya. Tangannya mendekap di dada, matanya merah karena lelah.

Rujukan dari rekan junior saya tidak terdengar terlalu berharap di telepon. Pasien berumur 97 tahun tersebut mengalami penurunan napas drastis. Sebelumnya dia memiliki riwayat gagal jatung, stroke, dan sekarang mengalami radang paru-paru.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Monitor saturasi oksigen berbunyi cepat di samping tempat tidur. Napasnya terengah-engah, tubuhnya ringkih melawan selimut tipis yang menutupinya dengan setiap rasa putus asa saat menghirup udara.

Antibiotik tidak ditanggapi baik oleh tubuhnya. Pneunomonia kini memegang kendali. Saya sibuk mendengarkan dadanya dengan stetoskop saat perawat masuk ke ruangan sambil mendorong mesin EKG (electrocardiogram) di belakangnya. Dia tersenyum lemah pada saya. Keprihatinan terukir di wajahnya.

"Dia tidak punya formulir merah," ujarnya melirik gugup ke sekeliling ruangan. ‘Formulir merah' adalah kode untuk pesan Jangan Mencoba Resusitasi (DNAR). Resusitasi berarti upaya penyembuhan. Saya berbalik pada anak Tuan Hamble.

"Apakah Anda keberatan jika kita berbicara di luar?"

Dia seperti tidak mau meninggalkan ayahnya, tapi mengikuti saya menuju ruang perawat yang sepi. Dia duduk di hadapan saya, masih meremas-remas tangannya. Saya mulai menjelaskan, bagaimana tidak sehatnya sang ayah, dan bagaimana terbatasnya pilihan kami untuk melanjutkan pengobatan.

Dia menggeleng pelan. "Saya tidak ingin dia menderita. Dia sudah cukup menderita, dan tidak ingin terus seperti ini."

Kami berbicara selama beberapa menit sebelum dia kembali ke sisi ayahnya. Saya merogoh laci di bawah pos perawat, mulai mengisi formulir merah.

Perintah Jangan Mencoba Resusitasi (DNAR) adalah masalah rumit. Perintah itu harus digunakan dengan tepat. Tujuannya, menghindari upaya traumatis dan tidak perlu dengan membiarkan pasien tanpa harapan sembuh untuk tetap hidup.

Memberikan secuil otonomi di akhir hidup mereka. Ada pertentangan besar tentang kapan DNAR harus dimulai, dan siapa yang harus terlibat dalam pengambilan keputusan akhir seperti itu.

Kasus hukum

Seperti dikutip situs The Guardian, ada kasus hukum mengenai dokter yang gagal memberitahu kerabat tentang perintah DNAR seperti yang terjadi di Rumah Sakit Janet Tracey di Addenbrooke pada 2011.

Hal ini membuat badan medis pemerintahan setempat membuat perubahan penting dalam pendekatan memulai DNAR. Saran tersebut menyoroti pentingnya pasien dan keluarga mereka dalam proses pengambilan keputusan. Usaha penyembuhan menyebabkan tak lebih dari tulang rusuk patah.

Lalu bagaimana jika jantung dihidupkan kembali? Lansia, pasien yang lemah tidak merespons baik perawatan pasca resusitasi dan Intensive Care Unit (ICU)? DNAR bukan berarti bahwa pasien tidak diobati. Hanya saja para dokter tidak akan melakukan intervensi pengobatan yang akhirnya tidak berhasil.

Tuan Hamble akhirnya meninggal beberapa jam kemudian, dengan formulir DNAR yang telah terisi. Rekan senior saya terkejut, saya senang bisa membahas masalah tersebut dengan anak Tuan Hamble.

Kematian tidak pernah menjadi percakapan mudah. Namun, itu adalah satu hal yang kami sebagai dokter harus hadapi.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER