Jakarta, CNN Indonesia -- Senyum ramah dan gerak gesit Brigjen TNI (Purn) DR. dr. Mardjo Soebandiono, SpB menyambut tim CNN Indonesia di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Di sebuah ruangan luas, ia kemudian bercerita dengan antusias soal pengalamannya menangani presiden demi presiden di Indonesia.
Tak banyak yang menyangka memang, di balik tubuh kecil dan senyum ramah Mardjo tersimpan pengalaman luar biasa. Ia sosok paling dicari saat presiden mengeluh soal kondisi kesehatan. Ia juga pernah mendampingi para prajurit di daerah-daerah konflik dalam maupun luar negeri.
Sejak zaman Soeharto, Mardjo sudah menggagas prosedur tetap penanganan kesehatan presiden. Di luar keluarga, ia sosok yang paling kalut saat mantan orang nomor satu di Indonesia itu keluar-masuk rumah sakit. Mardjo sampai memblokir satu lantai di RSPP khusus untuk keluarga Soeharto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria kelahiran Purworejo, 1 September 1949 itu masih menjadi orang kepercayaan bidang kesehatan saat tampuk kepemimpinan bergulir ke tangan Susilo Bambang Yudhoyono. Tak heran ia tahu betul kebiasaan SBY mengonsumsi tanaman obat yang ditanam sendiri di halaman rumahnya.
“Ada lima makanan, merah, putih, kuning, hijau, hitam. Merah itu tomat, putih havermout, hijau green tea, kuning wortel, hitam jamur kuping. Itu dikonsumsi setiap hari untuk mengencerkan darah dan mencegah stroke,” ujarnya saat ditanya soal kebiasaan hidup sehat presiden keenam Indonesia, SBY.
Mardjo fasih soal kesehatan karena sejak kecil ia sudah tahu tujuan hidupnya. Tak butuh waktu lama memutuskan, usai lulus SMA ia langsung masuk Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Setelah mendapat gelar dokter, tahun 1977 ia bergabung di program wajib militer (wamil).
Kerasnya kehidupan prajurit yang menempa Mardjo sudah tidak lagi dianggap asing. Sebab, sejak kecil ia memang sudah hidup dengan itu. Sang ayah merupakan prajurit TNI Angkatan Darat. Atas kekaguman pada idolanya itulah Mardjo memutuskan masuk militer. Ia ingin jadi bagian dari ABRI.
“Dulu cita-cita saya jadi angkatan, militer. Itu karena terinspirasi bapak saya. Bapak saya itu panglima juga, baret hijau. Saya jadi dokter dulu, baru ikut militer,” tuturnya menerangkan.
Tiga bulan Mardjo menjalani kewajiban militer. Ia jadi lulusan terbaik di Sekolah Perwira Wajib Militer (Sepawamil) tahun 1978. Berbekal pengalaman dokter dan tempaan militer terunggul, Mardjo langsung dikirim ke Timor-timur selama setahun penuh. Ia bergabung dengan batalyon terbaik Indonesia.
Dari sana, pengalaman dokter yang hobi bermain sepak bola dan alat musik drum itu semakin kaya. Sepulangnya dari Tim-tim, Mardjo mempersunting sang istri, Nina Waltarina Harrison. Setelah menyempurnakan kehidupan pribadinya, ia kembali ditugaskan oleh negara.
Tak main-main, kali ini Mardjo harus terjun langsung ke Bosnia. Di tengah Indonesian Medical Batalyon, ternyata lagi-lagi Mardjo menjadi yang terbaik. Daerah demi daerah pun ia jelajahi. Selain Aceh dan Bosnia ia pernah mengenyam hidup di Thailand, Filipina, Amerika Serikat, Saudi Arabia, Tiongkok, Brunei Darussalam, Liberia, Aceh, Papua, dan Ambon.
Bergulat dengan luka menganga akibat bom atau peluru sudah jadi hal biasa. Mardjo memang dituntut serba tanggap di tengah desing peluru dan suasana perang yang membekap. Sebagai dokter bedah, mengoperasi pasien di tenda darurat dengan bekal alat seadanya harus ia lakoni.
Sampai akhirnya, Mardjo dipanggil menghadap Istana. Ia diminta menjadi dokter keluarga RI-1. Anak-istri di Bandung pun harus ia tinggalkan, demi dekat dengan pusat pemerintahan di Jakarta. Kapan pun dibutuhkan, Mardjo harus siap. Hidupnya hanya berjarak beberapa meter dari Sang Presiden.
Demi itu, Mardjo rela tidak membuka praktik sehari-hari. Bagaimana bisa, ia bertugas mengecek kesehatan presiden secara rutin. Belum lagi jika ada 'panggilan' negara. “Kesehatan presiden itu ada dua,
medical service dan
medical support. Medical service tugas dokter pribadi,” katanya.
Jangan kira menjadi orang dekat presiden ia lantas ongkang-ongkang kaki. Kerjanya justru lebih keras. Ia harus rela tak punya pemasukan dari praktik, dan menanti tugas negara. Saat itu, bayaran dokter keluarga presiden belum terlalu layak dibanding membuka praktik dokter di luar.
Tapi tahun demi tahun, posisinya naik. Mardjo bukan hanya dokter keluarga, tetapi juga Ketua Tim Dokter Kepresidenan. Ia ikut Soeharto ke mana pun melangkah. Radiusnya dipersempit: lima menit.
(Baca juga:
Hidup Berjarak 5 Menit dari Presiden)
Alumnus S2 Manajemen Bisnis Unpad itu tak pernah lalai. Alpa sedikit saja, nyawa pemimpin negara taruhannya. Ia juga harus cepat tanggap. Prosedur kesehatan presiden, ia hafal di luar kepala.
“Semisal di istana presiden kena serangan jantung, hidupkan dulu sampai stabil. Kalau langsung dibawa ke rumah sakit bisa mati di jalan,” tuturnya menjelaskan dengan contoh. Ia melanjutkan, “Kalau luka tembak di jalan, sambil resusitasi dibawa ke rumah sakit terdekat.”
Kini, Mardjo tidak lagi harus mendampingi presiden. Harinya disibukkan dengan menjadi Direktur Utama PT Pertamedika yang biasa berkantor di lingkungan RSPP.
(rsa/mer)