Jakarta, CNN Indonesia -- Julia Lywellyn Smith seperti dikutip dari Telegraph bercerita tentang seorang teman yang mengirim surat elektronik kepadanya. Teman tersebut, sebut saja namanya Jane, baru saja lulus dari universitas ternama di Inggris. Dia berharap agar Julia mencarikannya pekerjaan di bidang jurnalisme. Julia menyodorkan beberapa nama yang bisa memberinya pengalaman bekerja.
Sebuah majalah menawarkan Jane untuk magang selama tiga minggu. Julia mengetahui ini bukan karena Jane memberitahunya. Temannya yang bekerja di majalah tersebut lah yang memberitahu kemajuan Jane. “Dia terlambat hampir setiap pagi dan terus mengeluh bahwa hal itu disebabkan kesalahan kereta api,” katanya melaporkan.
“Dia menjawab telepon dengan mengatakan 'Yo!” Tabiat itu sangat tidak disukai oleh managing director. Dia pulang setiap sore pukul 5 tepat, terlepas apakah dia telah menyelesaikan pekerjaannya atau belum. Kemudian, dia mengeluh di Facebook-nya bahwa kami telah memberikannya pekerjaan yang membosankan. Jadi, dia tidak bisa memenuhi potensi dirinya.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak perlu dikatakan, Jane tidak ditawari meneruskan bekerja di majalah tersebut. Namun di sekitar saat yang sama, teman Julia yang lain seorang pengusaha kecil yang sukses dan berkembang, bercerita tentang proses rekrutmen terbarunya. “Kami mengiklankan lowongan untuk junior dan mendapatkan ratusan aplikasi. Lamarannya sering salah eja atau terlihat jelas hasil copy-paste,” katanya.
“Kami berjuang mengecilkan daftar para pelamar. Kami lalu meminta putri salah seorang karyawan pembersih kami Sara yang masih 17 tahun untuk membantu selama beberapa hari. Dari Zimbabwe dia datang ke negara ini sepuluh tahun lalu dengan bahasa Inggris yang buruk, dan dia baru saja meninggalkan sekolahnya.”
“Sarah bersikap begitu ramah terhadap klien. Dia menunjukkan begitu banyak inisiatif pada pekerjaannya.”
Kemampuan soft skillApa yang dimiliki oleh Sara dan tidak dimiliki Jane adalah kemampuan 'soft skill'. Bakat yang oleh para pengajar bisnis disebuat sebagai kualitas paling dicari di tempat kerja modern.
Termasuk di antaranya ketepatan waktu, fleksibilitas, komunikasi yang baik, kegotong-royongan. Kemampuan soft skill tidak mungkin dapat diukur, tetapi menurut para pemimpin jauh lebih berharga daripada nilai akademis.
Tak adanya keterampilan menjadi alasan besarnya jumlah pengangguran di Inggris. Hampir 17 persen dari pemuda berusia 16 sampai 24 tahun menganggur, sekitar 737 ribu orang. Sebanyak 54 persen pengusaha setuju bahwa proses rekrutmen lebih mengutamakan kualifikasi dari sebelumnya.
“Di dalam survei para pengusaha mengatakan bahwa kualifikasi penting,” kata mantan Menteri Kemasyarakatan Inggris Nick Hurd baru-baru ini seperti dikutip dalam laman Telegraph.
“Tapi hanya sebagian, bagi kami yang terpenting adalah
soft skill seperti keterampilan karakter, kemampuan untuk beradaptasi dengan orang yang berbeda, kemampuan mengartikulasikan diri dengan jelas, kepercayaan diri, keberanian, dan pengendalian diri. Mereka berkata kualifikasi tersebut tidak banyak terdapat pada anak-anak yang baru lulus.”
Apakah keterampilan soft skill tidak begitu penting dari kemampuan berbicara selusin bahasa atau menghitung kalkulus sulit di kepala? Belum tentu karena saat ini mesin bisa melakukan semua hal tersebut.
Para peramal bisnis memprediksi, segera tenaga kerja akan terbagi antara orang-orang yang sangat terampil melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan teknologi dan karismatik, individu inovatif yang pesonanya membuat orang lain ingin berbisnis dengannya. Itu adalah kemampuan yang tak dapat dilakukan oleh komputer.
Soft skill adalah alasan mengapa perempuan seperti Chief Operating Officer Facebook Sheryl Sandberg melejit ke puncak, menyalip rekan-rekannya dari Harvard. “Dia muda, brilian, menarik, Anda akan cepat terpikat padanya, tapi dia pun sangat baik bekerja dengan orang lain,” kata bos pertama Sandberg, ekonom Lant Pritchett.
(win/mer)