Jakarta, CNN Indonesia -- Prevalensi penyakit alergi di seluruh dunia tercatat mengalami peningkatan, termasuk di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah karena semakin banyak ibu yang tidak memberikan air susu ibu (ASI) secara eksklusif.
Zakiudin Munasir, dokter spesialis anak - alergi imunologi di RSCM mengungkapkan, pencegahan primer alergi adalah memberikan air susu ibu secara eksklusif selama enam bulan masa awal hidup bayi.
Akan tetapi, saat ini banyak bayi yang tidak mendapatkan ASI lalu meminum susu sapi. Masalahnya, bagi sebagian bayi, susu sapi adalah alergen. Gejala alergi susu sapi yang paling banyak terjadi pada anak adalah saluran cerna dan kulit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(Baca juga:
Bisakah Alergi Disembuhkan?)
Menurut keterangan Zaki, komponen protein pada susu sapi yang paling sering menimbulkan alergi dinamakan beta lactoglobulin. Namun, umumnya anak akan toleran terhadap susu sapi saat mencapai usia satu tahun.
"Jika tidak ada ASI, atau ada indikasi medis anak tidak bisa menerima ASI, ada cara lain. Sekarang ada formula yang dibuat untuk anak yang tidak bisa menerima susu sapi yaitu hidrolisat parsial whey dan hidrolisat ekstensif kasein," katanya dalam bincang-bincang dengan sejumlah awak media di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Hidrolisat parsial whey aman bagi bayi karena formula tersebut telah memecah protein susu sapi sehingga tidak memicu alergi. Meski demikian, Zaki menyatakan, formula itu tetap tidak dapat menggantikan manfaat ASI.
Ia menambahkan, pencegahan sejak dini penting dilakukan sebab anak-anak memiliki sistem imunitas yang belum sempurna. Sehingga, jika ditangani dengan salah justru akan menimbulkan alergi lebih lanjut, misalnya sakit asma atau eksim.
"Namun kita harus ingat, bukan tidak mungkin anak dengan ASI eksklusif juga timbul alergi. Kalau iya, cari pencetusnya jangan-jangan makanan ibunya alergen," kata Zaki.
Ia pun memaparkan tiga tahap mengantisipasi alergi, sebagai berikut.
1. Menghindari pencetusZaki mengungkapkan, yang paling penting dalam menangani alergi adalah mencari tahu pencetusnya, misalnya alergi susu, makanan laut, tunga atau debu, dan sebagainya. Setelah diketahui, pencetus alergi harus dihindari agar tidak memicu alergi.
2. Meminum obatApabila tidak mungkin menghindari pencetus alergi, penderita alergi mau tidak mau harus meminum obat. Ada dua macam obat yang beredar di pasaran yakni obat yang hanya menghilangkan gejala dan obat pencegahan dalam jangka panjang.
"Sekarang sudah banyak obat pencegahan dalam jangka panjang yang dapat dikonsumsi anak-anak," kata dokter yang juga peneliti health economics Indonesia itu.
3. Disentisisasi atau imunoterapi"Imunoterapi artinya dikenalkan dengan alergen yang menyebabkan alergi namun dengan dosis yang sudah diatur," kata Zaki.
Imunoterapi dilakukan secara medis oleh dokter dan tidak boleh dilakukan sendiri karena dapat berbahaya. Paparan alergen yang terus-menerus dalam takaran yang tidak sesuai justru akan memicu sensitivitas alergi yang semakin tinggi.
(mer/mer)