Jakarta, CNN Indonesia -- Tidak hanya menyebabkan gangguan pada sejumlah organ tubuh individu seperti saluran pernapasan dan kulit, alergi juga menimbulkan kerugian lainnya baik secara biaya ekonomi maupun non-material.
"Efek alergi tidak hanya bagi individu tetapi juga keluarga dan masyarakat, termasuk peningkatan biaya untuk penanganan penyakit kronis tersebut," kata Prof. Jose M. Saavedra, profesor pediatri, gastroenterologi, dan nutrisi dari Fakultas Kedokteran Universitas John Hopkins.
Hal senada diungkapkan Samduridjal Djauzi, dokter spesialis penyakit dalam - alergi imunologi Rumah Sakit Cipta Mangunkusumo (RSCM). Ia mengatakan, "Alergi bersifat berkepanjangan dan makan biaya yang besar untuk berobat dan menurunkan kualitas hidup."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Samduridjal, menurunkan kualitas hidup maksudnya terlalu sering terserang alergi akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Bagi anak-anak misalnya, akan terhambat dalam bersekolah bahkan dapat mengganggu prestasi.
Belum lagi, aktivitas kerja orang tua pun akan terganggu karena harus merawat anak yang sedang sakit. Masalahnya, data menunjukkan bahwa prevalensi alergi di dunia, termasuk Indonesia, mengalami peningkatan.
Berdasarkan hal tersebut, dr. Herqutanto dari Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengungkapkan, sangat penting bagi orang tua untuk melakukan pencegahan alergi sedini mungkin.
Sebab, hal tersebut dapat membantu keluarga bahkan negara untuk menghemat beban ekonomi akibat alergi. Pencegahan dini alergi yang paling efektif dan efisien adalah dengan memberikan air susu ibu (ASI) secara eksklusif.
"Peran pemerintah juga besar untuk mengurangi alergi. Alergi menimbulkan biaya yang cukup besar. Klaim yang diajukan ke BPJS untuk penyakit alergi cukup besar," kata Herqutanto.
Ia memaparkan, penyakit-penyakit alergi seperti sinusitis dan penyakit kulit selalu masuk ke dalam daftar sepuluh penyakit rawat jalan di Indonesia. Dilihat dari angka kejadiannya yang tinggi, maka dapat diprediksikan biayanya juga besar.
Hal tersebut juga diungkapkan dr. Zakiudin Munasir, dokter spesialis anak - alergi imunologi RSCM. Zaki menyatakan, "Alergi bisa merugikan ekonomi negara karena obat alergi tidak murah. Harga salep kecil untuk alergi eksim saja misalnya, sudah mahal, belum biaya dokter, lalu transportasi. Untuk itu pencegahan primer sejak dini penting."
Sebuah studi Ekonomi Kesehatan dengan fokus pada pencegahan primer alergi di Indonesia dilakukan oleh Astrid Sulistomo dari Kedokteran Komunitas FKUI dan Zaki pada 2012.
Penelitian dilakukan pada dua kelompok anak yang tidak mendapatkan ASI karena ada indikasi medis. Kelompok pertama menggunakan susu formula hidrolisat parsial whey sebagai pengganti ASI. Sementara kelompok dua menggunakan susu formula standar bayi.
Seperti diketahui, dokter banyak menyarankan penggunaan formula hidrolisat parsial whey untuk mengurangi risiko alergi pada anak-anak sedari dini. Meskipun, formula tersebut memang tidak dapat menggantikan manfaat ASI.
Hasil studi menunjukkan, walau harga formula hidrolisat parsial whey mahal, secara hitung-hitungan ekonomis, tentang dampak lebih lanjut dari alergi susu sapi formula standar, lebih menguntungkan.
Menurut Astrid, rata-rata anak-anak di Indonesia terpapar alergi selama enam tahun. Untuk pengobatan dibutuhkan biaya kira-kira Rp 34,6 juta per anak. Sementara, penggunaan formula hidrolisat parsial whey dapat menghemat hingga Rp 4,5 juta.
"Penghematannya cukup signifikan. Belum lagi ditambah dari kualitas hidup yang meningkat. Selain itu, penggunaan formula hidrolisat parsial whey juga mengurangi hari-hari anak terkena reaksi alergi hingga 38 hari," kata Astrid menyampaikan temuan penelitian.
Berkenaan dengan hal ini, dokter merekomendasikan penggunaan formula hidrolisat parsial whey meskipun secara ekonomi harganya lebih mahal.
"Untuk itu kita himbau pabrik-pabrik membuat produk yang sejenis dengan harga terjangkau. Atau kalau perlu, pemerintah mensubsidi karena pencegahan lebih penting daripada mengobati dan BPJS menghabiskan uang banyak," kata Zaki berpendapat berdasarkan hasil rekomendasi penelitiannya.
(mer/mer)