Kisah dr Hariadi Hadibrata dan Anggapan Menyetrum Pasien

Tri Wahyuni | CNN Indonesia
Senin, 23 Mar 2015 10:59 WIB
Dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular, Hariadi Hadibrata, bercerita tentang kisahnya menjadi seorang dokter.
dr Hariadi Hadibrata, dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular (CNN Indonesia/Tri Wahyuni)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jadi dokter. Profesi itu pasti selalu terlontar dari bibir seorang anak ketika ditanya cita-citanya. Dokter seolah menjadi profesi impian semua siswa sekolah dasar, bahkan sampai sekarang.

Entah apa yang membuat profesi dokter begitu memikat. Entah karena jasanya, atau ada hal lainnya. Yang jelas untuk menjadi dokter dan menjalani profesi sebagai dokter tidaklah semudah kelihatannya.

Dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular, Hariadi Hadibrata, bercerita tentang kisahnya menjadi seorang dokter. Laki-laki yang memang berasal dari keluarga dokter ini awalnya tak tertarik dengan profesi sebagai dokter.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dulunya tidak ingin banget jadi dokter. Tapi karena pengaruh lingkungan ya," kata Hariadi. Bagaimana tidak terpengaruh, semua saudaranya adalah dokter. Bahkan ayah, paman, dan sepupunya. "Ayah 11 bersaudara, 7 dokter. Saya tiga bersaudara semuanya dokter, sepupu dokter semua," ujar Hariadi.

Melihat banyak keluarganya yang menjadi dokter, lama-kelamaan Hariadi pun mulai terpengaruh. Muncullah sebersit keinginan dalam dadanya untuk ikut menjadi seorang dokter.

"Pertama masuk kuliah bingung, mau jadi dokter atau mau teknik industri. Tapi saya melihat ke belakang bagaimana ayah saya bagaimana kokoh saya. Terus saya pikir. Jadi dokter enak juga ya kerja sendiri," ujar Hariadi menceritakan titik baliknya.

Sebenarnya, bisa dibilang keputusan Hariadi untuk menjadi dokter berawal dari kesalahpahaman. Dulu ia mengira menjadi dokter itu seperti menjadi wirausahawan. Bisa masuk kerja kapan saja karena tidak ada jam kantornya. Tapi, ternyata ia salah.

"Ternyata tidak lebih santai dari yang dibayangkan. Malah jam kerjanya ekstra," kata dokter kelahiran 24 Januari 1974 itu. Ia bercerita, saat orang lain pulang, ia bisa saja tengah malam dipanggil ke rumah sakit untuk menangani pasien. Dan ia pastinya tidak bisa menolak. "Ternyata jam kerjanya jauh lebih panjang dari karyawan."

Sebagai dokter bedah, kasus emergency yang harus ditangani Hariadi memang banyak. Akibatnya jam kerjanya pun tak menentu. Tapi karena kesukaannya terhadap bedah jantung, ia pun bisa bertahan sampai sekarang.

Tak hanya jam kerja yang membuat Hariadi agak terusik. Menurutnya, jadi dokter itu sangat capek. Bagaimana tidak setiap hari selalu mendengar keluhan pasien yang datang. Jika tak kuat betul, bisa jadi Hariadi yang tumbang.

"Kalau mendengarkan pasien itu lama-lama capek. Semua beritanya tentang sakit, tentang mengeluh," kata Hariadi menjelaskan. "Kalau tidak hobi, lama-lama capek. Harus hobi, ada keinginan, ada kesenangan," ujarnya menambahkan.

Tapi akhirnya, Hariadi pun menemukan kenyamanannya sendiri. "Ternyata ada enjoy-nya bisa nolong orang dari yang sakit, kritis, besoknya segar atau tiga hari berikutnya bisa segar lagi. Itu menimbulkan sensasi kepuasan sendiri melihat pasien bisa jalan lagi, ngobrol lagi, bisa pulang. Senang," katanya bercerita.

Meski sempat seolah terjebak dengan jam kerja sebagai doker, Hariadi tak pernah sekalipun menyesal dengan jalan hidupnya. Bermodalkan menyukai bedah dan jantung, Hariadi pun masih bertahan dan berada di titik seperti sekarang ini.

"Saya senang bedah, saya senang dengan jantung. Begitu ada kombinasi yang cocok, saya langsung melamar jadi dokter bedah jantung," ujar dokter yang juga hobi mendaki gunung itu.

Menjadi dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular pun bukanlah hal yang mudah. Setelah menuntaskan pendidikan sebagai dokter umum, meniti karier sebagai dokter PTT di daerah, Hariadi pun harus kembali menempuh pendidikan selama 14 semester.

Menurutnya, hal inilah yang membuat jumlah dokter bedah toraks dan kardiovaskular sangat sedikit di Indonesia. Bahkan, Hariadi adalah satu dari seratus dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular yang ada di Indonesia. Hanya seratus dari jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa.

"Kebutuhannya sangat banyak cuma faktor pendidikan yang sangat lama yang mungkin membuat sedikit yang tertarik," kata Hariadi.

Pengalaman menarik di daerah

Sebelum menjadi dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular, Hariadi sempat mengabdi di daerah terpencil di Kalimantan Barat, Mempawah, tepatnya di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Rubini. Jaraknya sekitar 80 kilometer dari kota Pontianak.

Tiga tahun menjalani profesi sebagai dokter di daerah, membuat Hariadi memiliki banyak pengalaman menarik.

Suatu hari saat Hariadi menjadi dokter jaga di rumah sakit, ada kejadian pasien meninggal saat sedang menjalani tindakan pengisapan lendir. "Pernah waktu itu ada pasien banyak lendir di mulutnya, kan harus disedot supaya lendir keluar. Selang sedot dari plastik cuma disambungkan karet penyedot yang ada listriknya," kata Hariadi memulai ceritanya.

"Pasien ini sudah tua, sekarat, tapi enggak mungkin dibiarkan. Waktu di suction pasiennya meninggal. Marahlah keluarganya, katanya disetrum," ujar Hariadi melanjutkan.

Atas kejadian itu, rumah sakit tempat Hariadi bekerja diserbu sebuah truk yang terisi penuh warga yang minta pertanggungjawaban. Bahkan mereka mengancam membakar rumah sakit.

"Datanglah satu truk minta pertanggungjawaban. Rumah sakit sampai dijaga satu kompi. Kalau enggak, rumah sakit dibakar karena dianggap menyetrum pasien," kata Hariadi sambil berseloroh.

Keluarga pasien, katanya, tidak menerima penanganan rumah sakit karena dianggap menyetrum sampai pasien meninggal. Untungnya kesalahpahaman ini tidak berlangsung lama karena kepolisian, TNI, kepala dinas kesehatan, kepala desa, dan ketua adat melakukan berkomunikasi menyelesaikan masalah ini.

"Akhirnya ketua adatnya diajak bicara. Kalau ketua adatnya bisa diajak bicara dan menerima anggotanya ikut," ujar Hariadi.

(mer/mer)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER