Dari dalam kue ini, Anda bisa mendapat pesan yang tertulis di secarik kertas kecil. Bisa berupa pesan kebajikan, peribahasa Tiongkok yang bijak, atau bahkan nomor lotere. Namanya memang kue keberuntungan atau fortune cookies.
Teksturnya gurih, terbuat dari tepung, gula, vanila, dan minyak wijen. Biasanya ia disajikan sebagai makanan penutup di restoran-restoran Tiongkok. Eksistensinya sudah bukan di Asia saja. Di Amerika pun ia ada.
Namun menurut buku
The Book of Origins karya Trevor Home, kampung halaman kue keberuntungan bukanlah Tiongkok. Trevor menulis, kue khas Tiongkok itu justru berasal dari Amerika. Pemopulernya memang sekelompok orang Tionghoa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka merupakan buruh yang bekerja di pertambangan emas California tahun 1849. Kue itu bahkan tidak dikonsumsi di Tiongkok sendiri. Baru tahun 1990 kue itu dimakan di sana. Itu pun dikenal sebagai "asli Amerika".
Terlepas dari
The Book of Origins, sejarah kue keberuntungan memang beragam. Wikipedia menyebut, sebuah kelompok imigran di California mengklaim sebagai pemilik resep itu dan memopulerkannya pada awal abad ke-20. Resep awalnya dari kue kering asal Jepang.
Jika betul, sejarah itu menyisakan kelucuan. Kue keberuntungan ternyata ditemukan oleh orang Jepang, dipopulerkan oleh warga Tionghoa, dan dikonsumsi publik Amerika.
Namun situs
Fancy Fortune Cookies tidak berhenti sampai di situ. Ia mengakui banyaknya teori yang berkembang soal asal-usul kue keberuntungan. Tahun 1983, bahkan pernah ada pengadilan palsu di San Francisco untuk menentukan sejarah pasti kue keberuntungan.
Menurut situs itu, ada setidaknya empat versi sejarah kue keberuntungan. Yang pertama versi David Jung. Ia merupakan imigran Tingkok yang mendirikan Hong Kong Noodle Company di Los Angeles. Ia menemukan kue itu tahun 1918.
Jung menciptakan kue keberuntungan setelah melihat orang miskin di dekat tokonya. Ia membuat kue lalu mengisinya dengan pesan-pesan dari Injil yang ditulis sendiri dalam secarik kertas. Kue itu dibagikan secara gratis.
Versi sejarah kedua adalah milik imigran Jepang. Makoto Hagiwara namanya. Ia menemukan menggagas kue itu di San Francisco. Ia mendesain kebun teh Jepang di Golden Gate Park. Namun kemudian Hagiwara dipecat. Hidupnya pun kesusahan dan dibantu teman.
Tahun 1914, untuk mengucap terima kasih kepada teman itu, Hagiwara membuat kue dan mengisi pesan di dalamnya. Setelah itu, Hagiwara jadi membagi-bagikan kue di Japanese Tea Garden.
Lain lagi dengan versi ketiga, yang ceritanya kembali ke warga Tiongkok. Awal tahun 1990-an, Chinatown di San Fransisco ingin disulap menjadi lokasi penarik wisatawan. Para pelancong dijanjikan pengalaman oriental asli.
Salah satunya dengan menyajikan kue keberuntungan sebagai makanan penutup. Itu merupakan ide seorang pekerja di San Francisco yang bernama Kay Heong, pada tahun 1930-an.
Versi terakhir berhubungan dengan abad ke-13 dan ke-14. Saat itu, Tiongkok dikuasai Mongol. Warga Tionghoa pun menyembunyikan ucapan mereka dalam kue bulan dan seorang revolusioner mengedarkannya. Tiongkok pun membentuk dasar Dinasti Ming dari situ.
Untuk merayakannya, Festival Bulan pun teratur digelar. Tradisinya membuat kue dengan ucapan-ucapan di dalamnya.
Sejarah itu melekat pada seluruh warga Tionghoa. Termasuk mereka yang pada 1949 bekerja pada American Railways. Ketika Festival Bulan datang, mereka tidak punya kue untuk dibagi. Mereka pun berimprovisasi dengan biskuit keras. Lahirlah kue keberuntungan.