Jakarta, CNN Indonesia -- Di Singapura, pada 8 sampai 12 April kemarin, ada sebuah perhelatan bertajuk World Street Food Congress. Salah satu negara terdepan dalam pembangunan di kawasan Asia Tenggara ini kelihatannya cukup serius membahas tentang makanan pedagang kaki lima.
Mengapa bagi Negeri Merlion yang sudah demikian maju, urusan makanan di pinggir jalan saja diberikan perhatian demikian istimewa?
Indonesia, negeri dengan ribuan penduduk yang bergantung kehidupannya pada sebagai pedagang kaki lima, kelihatannya harus belajar dari pengelolaan para pedagang kaki lima di Singapura.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bondan Winarno, pemerhati warisan kuliner Indonesia, bercerita sekelumit sejarah tentang riwayat kaki lima di negara maju. “Street food itu pernah hilang di dunia,” kata Bondan.
Amerika serikat di era 1930-an, mempunyai banyak pedagang kaki lima, tapi tiba-tiba para pedagang tersebut total menghilang, ucapnya. “Karena pada waktu itu, ada satu Walikota New York yang menganggap ini (makanan jalanan) bikin kotor kotanya.”
Namun,
street food di Amerika Serikat muncul kembali dalam bentuk
food truck atau truk makanan. Truk makanan, pada awalnya, hanya terdapat di daerah-daerah industri. “Dulu waktu saya tinggal di Los Angeles, kalau cari
food truck hanya ada banyak di tempat-tempat industri saja,” ujar Bondan.
Truk makanan tersebut, pada masa itu biasanya menjual masakan Meksiko karena para pegawai pabrik yang didominasi oleh orang-orang Meksiko. Singapura, nyaris melakukan kesalahan yang sama, tutur Bondan melanjutkan.
Jadi, Bondan berkisah, kira-kira 40 tahun yang lalu, Perdana Menteri Pertama Singapura Lee Kuan Yew tiba-tiba menyuruh kepala pekerjaan umumnya, 'menghabisi' semua pedagang kaki lima di negerinya.
“Untungnya di Singapura itu orangnya enggak '
yes man', sekali pun yang memerintahkan itu perdana menteri.”
Di depan sang perdana menteri, pejabat itu menganggukkan kepala menyanggupi tugas. Namun di luar, dia melakukan sebuah riset yang kuat, ujar Bondan. Dia menemukan, ada sekitar lima puluh ribu pedagang kaki lima yang masing-masing menghidupi empat orang anggota keluarga.
Saat di kembali rapat, dia mengatakan kepada Lee Kuan Yew, “'Pak Perdana Menteri, Anda rela mematikan dua ratus ribu warga Singapura?” kata Bondan bercerita.
“Kenapa kamu ngomong gitu?” Bondan berkata, menirukan ucapan Sang Perdana Menteri. Dua ratus ribu orang itu sekarang tergantung kehidupannya dari jualan makanan di pinggir jalan, jawab si pejabat. Lalu, solusimu kamu apa? Lee Kuan Yew balik bertanya.
Jika empat puluh tahun yang lalu Anda pergi ke Singapura, di sana tidak ada
food court. Yang ada adalah
car park. “Sampai sekarang beberapa orang menyebut
car park,” kata Bondan.
Di sebelah sebuah gedung perkantoran di Singapura, ada tempat parkir yang luas. Saat kantor tutup di malam hari, lahan parkir tersebut akan kosong. Jadi, dipanggil lah semua pedagang makanan untuk berjualan di tempat tersebut.
Semua sarana disiapkan, dari tempat cuci tangan, tempat pembuangan sampah, pokoknya semua harus besih. “Mulailah di situ, Lee Kuan Yew sadar,
street food adalah budaya,” tutur Bondan.
Street food di JakartaBagaimana dengan Jakarta? “Jakarta sampai saat ini saya sangat malu, tapi saya enggak usah ngomong lagi lah, saya sampe disangka orang jahat,” kata Bondan mengaku. Dia bercerita pengalamannya saat bekerja di sebuah wilayah perkantoran di Jakarta.
Saat jam makan siang, pegawai-pegawai lelaki berpakaian necis sampai karyawan perempuan berdandan cantik berhamburan ke luar gedung-gedung tinggi. Tujuan mereka, makan di pinggir jalan.
“Saya bilang, pertama, pemerintah keterlaluan, ngambil pajak dari gedung-gedung tapi enggak dikasih prasarana,” kata Bondan.
Namun, Bondan juga mempertanyakan pihak pengelola sarana, “Itu (karyawan-karyawan) adalah orang-orang yang harus dihargai karena orang-orang itu bekerja di gedung dia.”
Sudah selayaknya mereka membuat satu sarana yang bersih dan bagus, ucapnya. Oleh sebab itu, Bondan senang jika ada pihak yang memberikan tempat yang baik bagi orang-orang yang ingin menikmati masakan. Tak cuma itu, tapi juga memberikan tempat yang baik untuk pedagang.
“Kalau enggak mereka akan tetap di pinggir jalan, mereka enggak tahu caranya menyajikan makanan dengan benar dan bersih.”
(win/win)