Jaffna, CNN Indonesia -- Jaffna sesungguhnya adalah sebuah kota besar. Namun kota besar ini terlalu sepi, bahkan di jalan saya hanya melihat segelintir manusia.
Tak kurang dari 200 ribu warga yang mendiami Jaffna pasca penumpasan pemberontak macan Tamil yang berakhir 2009. Beberapa warga memilih hidup di luar Sri Lanka memperoleh suaka politik dari berbagai negara di Eropa.
(Baca juga: Mencari Jaffna, Tempat Konflik Masih Mungkin Meletup)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah sehari sebelumnya menjelajah kuil Nallur, sengaja saya hari itu memulai perjalanan menyusuri kota Jaffna lebih pagi. Karena inilah hari terakhir sebelum saya kembali ke ibu kota Sri Lanka, Kolombo.
Saya memulai penjelajahan ini dengan menyusuri benteng Jaffna yang terletak tak jauh dari laguna. Hanya sekelompok warga lokal berwisata di kawasan benteng Jaffna sambil menikmati es krim.
Saya mengabadikan keseharian yang menarik ini, tak sengaja saya melihat tiga anggota militer bersembunyi di dalam bajaj sambil mengamati aktivitas saya. Merasa tak nyaman, saya memasukkan kamera ke dalam tas dan meninggalkan kawasan itu.
Berwisata sembari diintai tentaraAgenda terakhir di Jaffna adalah mengunjungi sisa dan reruntuhan rumah maupun gedung yang rusak akibat bentrokan macan Tamil dan militer.
Agak aneh bagi wisatawan umum untuk mengunjungi tempat seperti ini namun tidak bagi saya, sebuah pengalaman yang luar biasa menyaksikan secara langsung sisa kerusuhan sipil yang brutal.
Sopir bajaj menghampiri dan menawarkan jasanya mengantarkan ke tujuan saya, setelah menyepakati harga, sopir membawa saya ke Main Street tujuan yang saya inginkan. Menurut catatan buku perjalanan dan informasi dari internet, Main Street merupakan wilayah terbanyak rumah dan gedung rusak bekas peperangan macan Tamil.
 Di kawasan Main Street, sejumlah reruntuhan bangunan rumah dibiarkan begitu saja. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Saya meminta sopir berhenti dan menunggu beberapa menit untuk memotret rumah yang hancur ditinggalkan pemiliknya. Bekas berondongan senapan masih tersisa di tembok, berupa puluhan bahkan ratusan lubang bekas peluru.
Semakin menarik dan membuat saya penasaran, akhirnya saya meminta sopir bajaj meninggalkan saya di kawasan ini. Menyusuri kawasan yang lengang tanpa seorangpun warga yang lewat dilengkapi teriknya matahari seperti orang konyol tanpa tujuan.
Kamera saya menyapu semua saksi bisu itu, dari tembok pagar hingga mencoba masuk ke dalam rumah tua yang kosong tanpa langit-langit. Jantung berdegup manakala, sebuah mobil truk berisi beberapa anggota militer berjalan di samping saya.
Sepi. Hanya saya dan sejumlah anggota militer itu, laju kendaraan militer pelan tepat di samping saya, memperhatikan aktivitas saya, mengamati dengan cermat mulai dari anggota tubuh sampai kamera yang saya jinjing.
Perasaan lega muncul saat mereka berbelok mengambil jalan berikutnya. Saya mencoba menenangkan pikiran dan kecemasan hati dengan memasuki gereja Santo Martin peninggalan Portugis, bangunan yang tua dan kokoh dengan gaya arstiektur Eropa.
(Baca juga: Kejutan Panorama dan Kehangatan Pemandian Keerimalai)Tak berapa lama saya dikejutkan oleh pertanyaan seorang pria entah penjaga gereja atau warga yang menghampiri dengan mimik muka yang tak bersahabat. Tanpa sapaan, pria itu menanyakan keberadaan dan tujuan saya dengan bahasa Inggris yang terbatas di gereja itu.
Penjelasan saya tak meluluhkan hatinya, saya diusir. Tak mengapa pikir saya, masih banyak rumah dan bangunan yang bisa difoto di kawasan ini. Keluar ke jalan utama, betapa terkejut saya ketika mobil truk militer yang sama melintas lagi dan terus memperhatikan saya. Mulai tak nyaman, keberadaan saya di Main Street ini benar-benar diamati.
Saya menghibur diri dengan menghampiri sebuah warung kecil yang menjual minuman dingin dan rokok. Pemilik warung, seorang bapak tua berbadan kurus berwajah keriput dengan rambut yang dipenuhi uban sempat menemani saya mengaso sejenak. Mata si pemilik warung terlihat cekung seakan masih menyimpan trauma pemberontakan macan Tamil.
Saya tak berani menanyakan kisah masa lalunya, terlalu sensitif. Bapak tua itu menawarkan saya untuk memotret dinding ruang tamunya yang lusuh bergambar mural Bunda Maria dan Yesus Kristus. Tampaknya dia penganut Katolik yang taat, kesempatan ini saya ambil dengan senang hati.
Usai berbicara beberapa menit dengan bapak tua ini, saya pamit untuk menyusuri bangunan selanjutnya. Sial, ternyata saya melihat mobil militer tadi berhenti di ujung jalan tetap mengamati pergerakan saya. Saya memundurkan langkah, mengubah rencana untuk tidak berlama-lama di Main Street.
Duduk sambil mengisap rokok, menunggu bajaj lewat. Tak kurang dari lima belas menit, sebuah bajaj melintas dan berhenti menghampiri saya. Cukup langka menemukan sopir bajaj yang lancar berbahasa Inggris di Jaffna dan kali ini saya beruntung.
Saya jelaskan kepadanya untuk mengantar saya ke tempat yang banyak bangunan tua bekas kerusuhan, ia mengangguk memahami apa yang saya inginkan.
Saya menyetujui ongkos tanpa menawar lagi. Mengintip dari balik tirai bajaj, mobil truk yang berisi militer itu sepertinya kehilangan jejak saya. Sopir bajaj ini rupanya paham betul tempat yang saya inginkan.
Dia membawa saya ke gereja Santo John juga bekas peninggalan Portugis, menyusuri Martyn Road, Nawalar Road, Stanley Road, Kasturiya Road dimana masih ada beberapa rumah hancur ditinggal penghuni dengan ratusan berondongan peluru yang menyisahkan jejak di temboknya.
Senang juga hati saya, mendapatkan foto-foto menarik berkat sopir bajaj yang sekaligus menjadi penunjuk arah. Kamipun berdialog seadanya selama perjalanan mengantar saya pulang, dia menanyakan berapa lama saya berada di Jaffna, bagaimana kesan kota Jaffna.
(Baca juga: Kuil Nallur Kandaswamy Kovil, Jantung Sejarah Kota Jaffna)Sopir bajaj itu sempat melontarkan pertanyaan, “Apakah kamu wartawan? Jarang sekali turis asing datang ke tempat-tempat seperti ini, Hanya wartawan asing dan orang NGO yang biasanya”. Saya terdiam sejenak, dan dengan tangkas menjelaskan bahwa saya mengoleksi foto-foto bangunan tuai dari tiap negara yang saya datangi.
Sopir bajaj itu mengangguk tanpa mengomentari, pertanda apakah dia paham atau mencurigai saya. Saya membayar ongkos bajaj setibanya di depan toko swalayan tak jauh dari terminal bis. Saya berpikir kembali dengan pertanyaan sopir bajaj tadi, apakah bapak itu seorang intelijen, ataukah ia sopir bajaj biasa dengan kemampuan berbahasa inggris di atas rata-rata.
Sudah terlalu lelah untuk memikirkannya, saya kembali ke hostel mengemas pakaian dan barang lainnya. Semua foto-foto yang saya hasilkan di Jaffna saya pindahkan ke alat penyimpanan foto terpisah dari kamera, file foto yang ada di kamera saya hapus semua. Sayapun membayar tunggakan hostel, membawa barang bawaan saya dan selembar tiket bus malam yang sudah saya beli sehari sebelumnya.
Tak sabar meninggalkan kota Jaffna. Mengisi perut sekenyangnya agar tak kelaparan di dalam bus. Anggota militer di mana-mana sudah tak saya hiraukan lagi saat menuju terminal bus. Akhirnya saya menemukan bus yang saya cari, bus ini akan membawa saya kembali ke kota Colombo dengan jarak tempuh 10 jam.
Perasaan lega bercampur khawatir karena nanti akan ada pengecekan lagi di check point militer saat keluar wilayah Jaffna. Saya membuka pesan dari ponsel, sebuah pesan penting dari seorang teman saya yang bekerja di Kolombo “Di mana bro? Masih di Jaffna? Sebaiknya segera meninggalkan Jaffna, beberapa hari ini Jaffna tidak kondusif, jangan lupa foto-fotonya diamankan, kosongkan semua file foto di kamera.”
(moh/utw)