Jakarta, CNN Indonesia -- Negara kaya maupun miskin harus berinvestasi lebih banyak untuk perawatan kesehatan mental, terutama selama krisis ekonomi, di mana tingkat depresi dan bunuh diri cenderung naik, berdasarkan informasi dari badan kesehatan dunia (WHO).
Dikutip dari Reuters, satu dari sepuluh orang di seluruh dunia memiliki gangguan kesehatan mental. Namun, hanya satu persen dari tenaga kerja kesehatan global mengobati penyakit tersebut. Gangguan kesehatan mental adalah penyakit yang masih menanggung banyak stigma masyarakat, kata badan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Sumber daya yang ditujukan untuk kesehatan mental, keuangan, serta sumber daya manusia, masih sangat kecil jumlahnya di seluruh dunia,” kata Shekhar Saxena, dokter yang juga Direktur Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Zat di WHO.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di negara-negara yang terjebak perang atau bencana alam, kebutuhan akan layanan kesehatan mental meningkat, tetapi anggaran kian menyusut, katanya.
“Secara umum, negara-negara yang menghadapi tantangan sosial-ekonomi serius berada pada risiko lebih tinggi untuk mengalami masalah kesehatan mental dalam komunitas mereka,” kata Saxena.
Menurutnya, tingkat depresi dan bunuh diri sebenarnya meningkat signifikan di negara-negara yang menderita krisis ekonomi. “Ini merupakan kehilangan berharga hidup, yang harus dilindungi negara, yaitu dengan mempertahankan perawatan kesehatan mental orang-orang tersebut selama stres.”
Ada juga jurang besar dalam perawatan kesehatan mental. Hampir setengah populasi dunia tinggal di negara, di mana hanya ada satu psikiater per seratus ribu orang. Sementara, di negara-negara berpenghasilan tinggi, tingkatnya adalah satu psikiater per dua ribu jiwa. Data tersebut berdasarkan jurnal Mental Health Atlas WHO pada 2014.
“Banyak negara (kaya) mencurahkan sumber daya yang cukup, tapi memanfaaatkan sumber daya dengan tidak optimal. Terlalu banyak upaya dilakukan untuk orang-orang yang menjadi pasien di rumah sakit jiwa dan sebaliknya di perawatan jalan. Dan terlalu sedikit sumber daya yang dihabiskan untuk perawatan kesehatan mental komunitas,” kata Saxena.
Untuk gangguan berat, misalnya skizofrenia dan gangguan bipolar, tingkat prevalensinya sama di seluruh dunia,” ucapnya melanjutkan. “Prevalensi depresi, kecemasan, gangguan stres pasca-trauma, dan penyalahgunaan narkoba secara signifikan lebih bervariasi di antara masyarakat yang berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan oleh faktor budaya.”
(win/utw)