Mengungkap Misteri Waktu, Kenapa Saat Bosan Waktu Terasa Lama

Windratie | CNN Indonesia
Rabu, 29 Jul 2015 10:12 WIB
Saat kita berkonsentrasi pada sebuah peristiwa, waktu kadang berlalu lebih lambat dari biasanya. Hal yang sama terjadi ketika kita bosan.
Otak manusia memiliki kemampuan untuk mencatat waktu tapi tidak seakurat perangkat waktu eksternal. (Getty images/ imtmphoto/Thinkstock)
Jakarta, CNN Indonesia -- Manusia mengukur waktu menggunakan peristiwa yang bisa diprediksi secara alami. Misalnya, siang hari beralih ke malam, atau musim dingin yang menjadi musim semi. Peristiwa tersebut terjadi dalam hitungan hari, minggu, dan tahun. Kita memakai jam dan kalender untuk menandai perjalanan waktu. 

Otak manusia memiliki kemampuan untuk mencatat jangka waktu pendek, dari menit ke detik, yang kemudian ditransformasikan untuk memahami aliran waktu dalam rentang hidup. Namun sayangnya, alat pacu internal manusia tidak menjaga waktu seakurat perangkat eksternal.

Dikutip dari Independent, persepsi individu akan waktu sangat dipengaruhi oleh tingkat fokus, keadaan fisik, dan suasana hati. Hal tersebut diungkapkan oleh Muireann Irish, peneliti senior di Pusat Penelitian Neurosains Australia dan Claire O'Callaghan, peneliti klinis di Institute Neurosains Klinis di Universitas Cambridge, Inggris.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat kita berkonsentrasi pada sebuah peristiwa, waktu kadang berlalu lebih lambat dari biasanya. Hal yang sama terjadi ketika kita bosan. Waktu seolah terseret tanpa akhir.

Dalam keadaan yang lain, waktu bisa terasa sangat cepat. Ketika perhatian kita terbagi, misalnya, dan kita sibuk mengerjakan beberapa hal sekaligus, di saat ini waktu tampaknya berlalu lebih cepat. Barangkali ini karena kita kurang memerhatikan aliran waktu ketika melakukan beberapa pekerjaan bersamaan, kata Muireann dan Claire mengungkapkan.

Selain itu, kualitas emosional sebuah peristiwa juga memengaruhi persepsi kita tentang waktu. Kondisi emosional negatif, misalnya rasa sedih atau tertekan, membuat waktu seolah berjalan lebih lambat.

Lalu, ketakutan juga berefek sangat kuat pada waktu, memperlambat jam internal manusia, sehingga peristiwa yang menyebabkan ketakutan tersebut dianggap lebih lama. Sebaliknya, kesenangan dan kebahagiaan tampak berlalu dalam sekejap mata saja.

Sama seperti waktu yang dapat menjadi lambat atau cepat tergantung pada keadaan emosional kita pada saat itu, persepsi manusia tentang waktu juga terdistori ketika manusia menua. Orang di atas usia 60 tahun kerap melaporkan, waktu yang jadi lebih bervariasi. Hari Raya nampaknya datang lebih cepat setiap tahun, tapi satu hari terasa lebih panjang dan tak berakhir.

Muireann dan Claire mengatakan, anomali persepsi waktu saat kita semakin tua barangkali berhubungan dengan sejumlah proses kognitif yang diperlukan.

Misalnya, berapa banyak perhatian yang harus diberikan untuk melakukan tugas tertentu, dan seberapa efektif kita dapat membagi perhatian untuk beberapa tugas yang terjadi sekaligus. 

Efisiensi manusia pada wilayah ini secara bertahap akan berkurang seiring bertambahnya usia sehingga dapat memengaruhi persepsi subjektif terhadap waktu.

Yang lebih penting, acuan kita pada durasi peristiwa juga berubah seiring bertambahnya usia. Kenangan yang kita simpan sepanjang hidup membuat kita membuat batas waktu personal.

Ada pendapat mengatakan, persepsi manusia tentang waktu barangkali sebanding dengan panjang umur kita. Dikenal juga sebagai 'teori proporsional'. Ide ini mengatakan, semakin kita bertambah usia, rasa kita terhadap waktu 'sekarang' mulai terasa singkat dibandingkan seluruh umur kita.

Memori mungkin memegang kunci terhadap persepsi waktu. Kejelasan akan kenangan tersebut dipercaya membentuk pengalaman seseorang tentang waktu.

Pengalaman yang paling diingat dengan jelas cenderung terjadi pada tahun-tahun perkembangan, seperti pada usia 15 dan 25. Dekade ini dikaitkan dengan meningkatnya kenangan tentang pendefinisian diri, dikenal juga sebagai reminiscence bump atau gundukan kenangan.

Akurasi terhadap persepsi waktu juga terganggu pada berbagai kondisi klinis. Gangguan perkembangan, contohnya autisme dan attention-deficit-hyperactivity disorder (ADHD), misalnya, dikaitkan dengan kesulitan dalam memperkirakan interval waktu secara akurat.


(win/mer)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER