Penawar Racun Ular Semakin Langka di Dunia

Fadli Adzani | CNN Indonesia
Kamis, 10 Sep 2015 10:42 WIB
Penawar racun ular yang diklaim paling manjur tak lagi diproduksi. Padahal produk ini  masih sangat dibutuhkan di sejumlah negara berkembang.
Ilustrasi ular. (bobloblaw/Thinkstockphotos)
Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga relawan medis, Doctors Without Borders (DWB) menyatakan dunia bakal kehabisan penawar racun ular yang diklaim paling efektif. Hal ini memberi tambahan risiko kesehatan terhadap puluhan ribu orang di dunia, khususnya di negara-negara berkembang.

Organisasi yang juga dikenal dengan nama Medecins Sans Frontieres (MSF) itu mengatakan bahwa penawar racun ular Fav-Afrique, yang diproduksi oleh Sanofi Pasteur, akan habis produknya pada Juni tahun depan.

Dilansir dari laman Guardian, perusahan Sanofi Pasteur berhenti memproduksi obat penawar itu pada tahun lalu, dan malah beralih kepada pembuatan obat anti rabies.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sekarang kita menghadapi krisis yang sebenarnya," kata Gabriel Alcoba, penasihat DWB yang khusus mengurus korban patukan ular, dalam sebuah pernyataan.

Organisasi itu juga menuturkan, hampir tidak mungkin untuk mencari obat penawar alternatif selain Sanofi Pasteur selama dua tahun kedepan.

Menanggapi hal ini, seorang juru bicara perusahaan farmasi itu, Alain Bernal, mengatakan bahwa perusahaan mereka telah kalah bersaing di pasar karena perusahaan lain yang menjual produk lebih murah.

Sebelumnya, pada 2010, mereka telah mengumumkan penghentian produksi obat penawar racun ular. “Sangat aneh ketika para pemangku kepentingan baru menyadari hal ini lima tahun kemudian,” ujar Bernal, yang sebelumnya sudah sempat menawarkan alih teknologi penawar racun ular kepada lembaga lain.

Sekitar lima juta orang di dunia, digigit oleh ular setiap tahunnya, 100 ribu diantaranya meninggal dan beberapa ratus ribu diantaranya harus mengamputasi bagian tubuhnya hingga mengalami kecacatan.

Saat tersedia obat penawar racun ular dijual seharga US$250 hingga US$500 atau Rp3,5 juta hingga Rp7,1 juta. Namun untuk negara-negara miskin, obat itu dikirimkan oleh kelompok donor dan organisasi kemanusiaan.

DWB mengatakan bahwa mereka akan mendesak lembaga internasional agar menjamin bahwa obat penawar racun ular ini harus ada jika dibutuhkan. Mereka kembali menambahkan, bahwa Badan Kesehatan Dunia atau WHO, harus memiliki peran aktif dalam mengatasi masalah ini.

Menjawab hal itu, salah seorang juru bicara WHO, Gregory Hartl, mengatakan bahwa pekerja mereka telah berusaha mengatasi masalah patukan ular ini, namun, banyak kelompok donor yang tidak tertarik atas obat penawar racun ular itu.

Ia menjelaskan, kurangnya pengobatan gigitan ular ini juga akibat sejumlah dokter menyarankan agar tidak menggunakan obat penawar tersebut, karena sumber penawarnya berasal dari ular yang salah.

(utw/utw)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER