Lingkungan Bisa Bantu Pasien Gangguan Jiwa Berpikir Realistis

Tri Wahyuni | CNN Indonesia
Selasa, 06 Okt 2015 06:49 WIB
Kisah pengidap schizoaffective, bisa hidup normal setelah mendapat dukungan orang-orang terdekatnya. Bukan diberi stigma atau disingkirkan.
Ilustrasi. (Thinkstock/AntonioGuillem)
Jakarta, CNN Indonesia -- Para ahli sepakat mengimbau masyarakat agar jangan memberikan stigma atau memberi cap pada para penderita gangguan jiwa.

Sebab, dukungan sosial justru amat baik bagi para penderita gangguan kejiwaan.

Menurut dokter spesialis kedokteran jiwa atau psikiatri Mahar Agusno, dukungan sosial ini juga yang menyebabkan penanganan pasien gangguan jiwa di negara berkembang dinilai lebih baik daripada di negara maju.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Orang dengan gangguan jiwa kalau di negara maju misalnya orang skizofrenia tidak ada temannya dan di rumah akan dikirim ke Rumah Sakit Jiwa, kalau mengganggu akan dimasukkan ke penjara," kata Mahar saat ditemui dalam acara Pekan Kesehatan Jiwa Unika Atmajaya, Jakarta, kemarin.

Berbeda dengan budaya di negara berkembang, yang individunya lebih bersifat kolektif, pasien gangguan jiwa tetap dirawat oleh keluarga yang memiliki hubungan erat satu sama lain. Inilah yang dinilai Mahar sebagai nilai plus sendiri.

"Mereka berpendapat lebih baik memelihara atau menengok orang sakit daripada harus sakit dan ditengok orang. Itulah sebabnya penanganan gangguan jiwa di negara berkembang lebih bagus," ujar Mahar.

Pernyataan Mahar pun diamini oleh pasien pengidap Schizoaffective, Bambang.

Pasien yang pernah mengalami masa-masa pahit ketika penyakitnya kambuh itu mengakui dukungan dari lingkungan sekitar merupakan modal utamanya untuk pemulihan.

"Kunjungan keluarga waktu di rumah sakit mempercepat penyembuhan pasien, itu saya sendiri mengalami betul," kata Bambang.

"Dukungan dari orang sekitar membuat saya merasa, ternyata dalam keadaan seperti ini, ada saudara-saudara makin membuat saya semangat,” kata pria yang sehari-hari berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di sebuah tempat kursus itu.

“Saya jadi berpikir realistis, saya sakit perlu pengobatan dan saya percaya kalau orang sakit bisa sembuh.”  

Schizoaffective adalah kelainan mental yang memiliki gejala kombinasi antara gejala schizophrenia dan gejala gangguan afektif (gangguan mood).

Halusinasi, seolah mendengar bisikan-bisikan, delusi, dan kekacauan komunikasi yang merupakan gejala schizophrenia berpadu dengan gangguan afektif seperti kecemasan, depresi, kesedihan, amarah atau histeria.  

Dalam sebuah film yang mengisahkan Bambang dan penyakitnya, dikupas secara mendalam tentang kehidupan Bambang dengan penyakitnya. Ada masa di mana ia harus mengalami fase mania atau fase kekambuhan dan ada masanya ia mengalami masa normal.

Ketika sedang kambuh, istri Bambang, Yatmi mengatakan suaminya itu bisa mengamuk begitu saja dan kepada siapa saja, bisa ke orang tuanya, istrinya, bahkan anaknya.

Tapi pada saat kondisi normal, Bambang terlihat seperti orang kebanyakan. Hanya saja gangguan kejiwaan tersebut terlanjur memberi stigma padanya.

Bambang pun tak berani untuk melamar kerja karena lingkungan memberikan dia citra negatif sebagai orang dengan gangguan jiwa.

Akhirnya Bambang hanya bisa di rumah. Bertukar peran dengan sang istri yang menjadi tulang punggung keluarga.

"Saya jadi berpikir lebih baik cacat fisik daripada harus cacat mental seperti saya ini," ujarnya.

Tapi, kini kondisinya berubah. Bambang sudah pulih. Kondisinya pun sudah lebih baik dari dibandingkan dulu.

Meski ia masih merasa malu dengan gangguan kejiwaan yang dialaminya, tapi Bambang kini biaa berdiri tegap kembali.

"Sekarang bersyukur mungkin sudah tidak sakit seperi dulu lagi. Mudah-mudahan berharap akan bisa terus seperti ini," kata dia. 

Masih punya sisi sehat

Satu yang sering dilupakan banyak orang, juga termasuk para psikiater, ketika menghadapi pasien dengan gangguan jiwa, mereka tidak pernah melihat sisi normal mereka.

Dokter spesialis kedokteran jiwa atau paikiatri Suryo Dharmono pun mengakui hal tersebut.

"Saya tidak pernah melihat sisi sehatnya pasien. Padahal sudah 20 tahun jadi psikiatri," ujar Suryo.

Senada dengan Suryo, Mahar yang juga telah 20 tahunan bekerja menjadi psikiater sering melihat pasien hanya dari sisi sakitnya.

Sekali divonis sakit akan dilihat sakit, katanya.  "Padahal ada periode di mana dia sehat. Dan ini kita harus mengubah paradigmanya," kata Mahar.

Ketika pasien sedang mengalami fase normal ajaklah mereka melakukan kegiatan yang bermaanfaat. Hal ini bisa membantu proses pemulihan mental mereka.

Sebab, definisi kesehatan jiwa sendiri berarti bagaimana individu bisa berfungsi bagi masyarakat dan lingkungannya. Seperti Bambang yang kini bermanfaat mengajarkan bahasa Inggris pada anak-anak.

(utw/utw)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER