Jakarta, CNN Indonesia -- Membiarkan piring kotor menumpuk, merasa lesu melakukan pekerjaan rumah, dianggap hal biasa. Hampir setiap orang pernah merasakan kehilangan semangat dan motivasi.
Namun, apatis, hilangnya antusiasme, dan emosi jangka panjang bisa menjadi masalah kesehatan jantung. Umumnya, kelesuan bisa menjadi tanda-tanda depresi, dan ironisnya bisa merupakan efek samping dari antidepresan.
Namun, para ilmuwan percaya, kelesuan bisa menjadi tanda-tanda dari puluhan kondisi kesehatan lain, termasuk stroke dan penyakit jantung. Mereka juga mencari akar masalah penyebab kelesuan ekstrem pada orang-orang sehat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Banyak pasien yang merasa lesu kerap dilabeli dengan malas. Mereka juga didiagnosis mengalami depresi,” kata Profesor Masud Husain, ahli saraf di Universitas Oxford, dilansir
Reuters. Masud mengatakan, mereka mungkin hanya duduk sepanjang hari melakukan sedikit aktivitas tapi mereka bahagia, tidak seperti orang depresi.
Gejala sifatnya ringan bisa ditemukan pada orang sehat. “Terjadi perubahaan di daerah tertentu otak.” Bulan lalu, ahli saraf dari Royal Free Hospital di London melaporkan bahwa kelesuan adalah masalah yang kerap diremehkan yang terjadi pada orang-orang dengan gangguan neurologis kronis, misalnya Parkinson.
Meskipun kerap terjadi dan melumpuhkan, kelesuan adalah masalah yang kerap dipandang sebelah mata baik oleh pasien maupun dokter mereka, kata para peneliti dalam jurnal
Practical Neurology. Menurut mereka, perlu untuk membedakan kelesuan karena depresi atau kelesuan yang butuh perawatan berbeda, misal obat-obatan selain antidepresan.
Para ahli saraf mendefinisikan kelesuan sebagai emosi yang berkurang (positif dan negatif), kurang motivasi, dan emosi kosong.
Sebagai perbandingan, mereka mendefinisikan depresi dengan kesedihan, menangis, rasa bersalah, putus asa terhadap masa depan, mood berubah-ubah, dan prasangka negatif, dengan kata lain melihat segala sesuatu dari sisi terburuk.
Para peneliti juga mencatat, tidak seperti orang-orang depresi, orang-orang dengan sikap apatis kadang-kadang juga bisa bahagia.
Studi itu bukan satu-satunya yang menunjukkan bahwa apati lebih dari sekadar bagian dari depresi. Sebuah studi pada 2009 di Amerika Serikat menemukan bahwa sikap apatis adalah gejala dari 33 kondisi.
Apatis memengaruhi 29 persen orang tua yang mengidap penyakit jantung, hingga 31 persen pasien MS, dan 45 persen pasien Parkinson. Gejala apatis juga ditemukan pada orang-orang yang mengidap penyakit Lyme, sindron kelelahan kronis, defisiensi testosteron, dan defisiensi vitamin B12.
Penyebab pasti apatis belum jelas. Namun, bukti menunjukkan terjadi perubahan di daerah otak yang terkait dengan imbalan, yakni bagian korteks prefrontal (di depan otak) dan basal ganglia (area kecil di dasar otak).
Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa orang-orang lebih tua dengan penyakit jantung dapat memiliki sikap apatis karena suplai darah berkurang ke daerah-daerah otak akibat arteri mereka menyempit.
(win/les)