Jakarta, CNN Indonesia -- Para ilmuwan tengah berdebat tentang teknologi yang mampu 'mengedit' gen baru dalam sel telur, sperma, dan embrio manusia.
Dilaporkan oleh Reuters, Selasa (1/12), para ilmuwan dan pakar etika berkumpul pada pertemuan puncak di Washington untuk mendiskusikan teknologi yang mampu mengubah DNA bayi yang belum lahir.
Beberapa kelompok meyerukan agar penggunaan teknologi yang dikenal dengan nama CRISPR-Cas9 tersebut dibatasi. Seruan tersebut membuka sebuah batasan baru dalam pengobatan genetika CRISPR-Cas9 yang dapat memodifikasi gen secara cepat dan efisien.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hille Haker, Ketua Teologi Moral Katolik di Universtias Loyola Chicago, berpendapat tentang penelitian yang melibatkan perubahan sel reproduksi manusia, dikenal juga sebagai
germline. Haker mengatakan, praktik-praktik tersebut melanggar kebebasan anak-anak yang belum lahir. Mereka tidak punya kesempatan menyetujui perubahan dalam kode genetika mereka.
Namun, John Harris, profesor bioetika Universitas Machester di Inggris berpendapat, dirinya sangat mendukung teknologi.
“Kita semua memiliki kewajiban moral yang tak bisa dihindari. Untuk melanjutkan penyelidikan ilmiah ke titik di mana kita dapat membuat pilihan rasional. Kita belum sampai ke titik itu. Penelitian amat diperlukan,” kata Harris.
CRISPR-Cas9 adalah sejenis gunting molekuler yang secara seletif dapat membuang bagian-bagian tidak diinginkan pada genom lalu menggantinya dengan bagian baru DNA. Para ilmuwan berkata, teknologi ini dapat mencegah penyakit keturunan.
Meski demikian, pihak lawan khawatir akan efek yang tidak diketahui yang bisa terjadi pada generasi mendatang. Selain itu, di masa depan para orang tua juga akan tergoda untuk membayar tambahan genetik unggul seperti kecerdasan super atau kemampuan atletik pada janin yang dikandung.
Beberapa ilmuwan merasa sudah terlambat untuk melarang penggunaan teknologi dalam sel reproduksi manusia karena teknologi tersebut mudah diakses dan digunakan secara luas di banyak laboratorium.
Pertemuan yang dilangsungkan tiga hari di Washington ini diselenggarakan oleh National Academies of Medicine and Sciences, Chinese Academy of Sciences, dan Royal Society of the Unites Kingdom.
(win/utw)