Fesyen Indonesia Terbuka Bagi Model Penyandang Disabilitas

Christina Andhika Setyanti | CNN Indonesia
Sabtu, 19 Des 2015 16:10 WIB
Dunia fesyen Indonesia membuka pintu bagi siapapun yang ingin jadi model, termasuk mereka yang menyandang disabiitas. Model tak lagi tentang fisik.
Aktris dan model penyandang down syndrome Jamie Brewer di New York Fashion Week 2015. (Brian Ach/Getty Images)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kemenangan Nyle DiMarco, seorang pria tuna rungu dalam sebuah model pencarian bakat di Amerika, America’s Next Top Model (ANTM) seolah menunjukkan bahwa sebenarnya menjadi model adalah soal kompetensi diri. Secara fisik, Nyle memang sempurna, namun karena kekurangannya, dia juga punya hambatan besar dalam dunia modeling.

"Tantangan terbesar saya dalam dunia modeling adalah komunikasi. Untuk mengatasinya biasanya saya menggunakan ponsel untuk ngobrol dengan kontestan lain," kata Nyle kepada CNNIndonesia.com di Hotel Mulia Senayan, Jakarta, saat kunjungannya ke Indonesia, belum lama ini.

Dengan kata lain, Nyle sebenarnya mencari jalan keluar untuk mengatasi segala hal yang bisa menghambatnya dalam karier sebagai model. Nyle bukanlah satu-satunya model disabilitas yang namanya mencuat ke dunia fesyen. Sekarang ini dunia fesyen seperti sudah mengaburkan batas kesempurnaan seseorang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti diketahu, citra model yang selama ini dikenal adalah sosok yang cantik, tinggi, langsing, untuk wanita atau yang berbadan kekar dengan perut berotot alias six pack, bagi laki-laki. Namun selama pekan mode di tahun ini, termasuk New York Fashion Week, banyak model baru yang bermunculan.

Uniknya, banyak dari model tersebut yang ternyata penyandang disabilitas. Mulai dari penyandang down syndrome, model yang duduk di kursi roda, pemilik tangan prostetik, tuna rungu, penderita vitiligo, dan lainnya. Di pekan mode bergengsi di dunia ini, mereka justru mendapatkan apresiasi dan kesempatan berkarier di dunia model dari banyak desainer dan juga pencinta mode. Sebelumnya, ada juga muncul model anti-mainstream yang memiliki ukuran tubuh plus, alias bertubuh besar.

Fenomena ini sebenarnya menjadi sebuah perkembangan dunia mode yang mulai 'melirik kenyataan’.

"Menurut saya orang sudah mulai sadar saja bahwa di dunia fesyen tidak semua orang 'sempurna' dan 'normal'," kata desainer Mel Ahyar, kepada CNN Indonesia.com.

"Sekarang di dunia mode, acceptance orang terhadap hal yang unik atau di luar kebiasaan cenderung lebih besar daripada tahun sebelumnya yang sangat berkesan harus 'sempurna'. Sampai sempat ada tren skinny models. Jadi anti mainstream itu dendiri justru sudah menjadi sesuatu yang mainstream saat ini,” terang Mel.

Fenomena kemunculan model-model ini juga dianggap sangat positif. "Ini merupakan gerakan yang menginspirasi orang untuk percaya diri dengan apapun keadaan fisiknya, dan malah menjadikannya sebagai kelebihannya," kata desainer Lenny Agustin.

Melirik dunia fesyen lokal, sebenarnya sudah pernah ada model anti-mainstream seperti yang berukuran plus dan tuna rungu yang muncul, namun belum banyak dan konsisten kemunculannya. "Dulu ada yang tuna rungu, dan model oversize, namun untuk yang disabilitas secara fisik belum ada. Mungkin belum ada yang berani memulai," kata Lenny.

Koleksi Lenny Agustin di indonesia Fashion Week 2015. (CNN Indonesia/Safir Makki)
"Padahal sebenarnya kalau memang ada potensi, di Indonesia tetap akan berkembang kok," kata Mel.

"Saya tidak melihat over size dan tuna rungu adalah kekurangan, beda dari yang lain, iya, tapi minus itu tidak. Dan beda bukan berarti tidak normal. kalau percaya diri dan nyaman dengan diri sendiri kenapa harus ditutupi?" sambungnya.

Bisa jadi, ada banyak orang yang berminat menjadi model anti-mainstream di Indonesia. Hanya saja kemungkinan besar, mereka masih tak berani dan tak percaya diri untuk muncul ke permukaan dan menggapai impiannya, karena masih takut dengan imej model yang harus sempurna.

"Sebenarnya kalau model itu harus putih kan sudah enggak, namun imej tinggi dan langsing memang masih ada. Karena kalau model jalan di panggung kelihatan pendek dari arah penonton, jadi dia harus tinggi baru enak dilihat," kata Lenny. "Kalau perfect sih enggak harus, karena saya bisa memilihkan baju yang menutupi kekurangannya."

Senada dengan Lenny, Mel juga mengungkapkan bahwa model tak harus putih, tapi harus tinggi dan punya standar ukuran model. Tujuannya untuk menstandardisasi ukuran baju yang dibuat desainer.

Selain itu, adanya rasa minder dan takut diejek, tak realistis dan juga ketakutan tak ada desainer yang mau mempekerjakan mereka pun bisa jadi alasan sendiri. Kedua desainer Indonesia ini mengaku tak bermasalah jika si model memang kompeten.

"(Kemunculan model anti mainstream) Ya boleh saja, tapi kalau dibilang berharap sih belum kepikiran. tapi kalau mereka memang bagus dan profesional kerjanya, yaitu bisa berekspresi keren dan lainnya, saya akan mau memakai mereka. Kalau sesuai dengan kebutuhan konsep desain saya," ucap Lenny.

Kemunculan model-model tak biasanya ini dianggap kedua desainer Indonesia ini juga sebagai sebuah langkah yang bisa memotivasi orang lain. Mel juga mengungkapkan kalau dia tak segan untuk memakai model unik ini jika sesuai konsepnya.

"Pastinya, apapun itu kalau sesuai dengan target dan konsep bajunya sih sudah pasti senang kalau mereka bisa berkembang dan bisa memotivasi yang lain," ucapnya.

[Gambas:Youtube] (les)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER