Jakarta, CNN Indonesia -- Di era serba terbuka ini, kebanyakan korban tindak kekerasan terutama seksual, ternyata masih memilih tutup mulut setelah mengalami peristiwa nahas dalam hidupnya.
Itu disampaikan Livia Iskandar, psikolog sekaligus pendiri dan pembina Yayasan PULIH.
"Ini berdasarkan riset saya sendiri, mayoritas para korban memilih menyimpan rahasia mereka untuk jangka panjang. Dan ini jadinya semakin menyakitkan bagi mereka," katanya dalam kegiatan seminar The Economic Impact of Sexual Violence di Jakarta, baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi itu semakin berbahaya ketika sebenarnya mereka ingin bercerita, tapi justru tidak dipercaya orang-orang terdekatnya.
Kasus kekerasan memang semakin rumit ketika dilakukan oleh oleh seseorang yang dekat, seperti pasangan atau keluarga. Kebanyakan dari mereka, terutama kalangan menengah atas, memilih menyimpan rapat-rapat dan menjadi pesakitan karena khawatir citra atau status sosial mereka akan runtuh.
Menurut data, angka kekerasan pada wanita semakin meningkat dari waktu ke waktu, terutama dalam lima tahun terakhir. Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2013 menunjukkan, satu dari tiga wanita mungkin mengalami kekerasan fisik atau seksual.
Di Indonesia, Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia mencatat selama 2010 hingga 2014 terjadi 21 juta kasus pelanggaran hak anak di 34 provinsi. Sekitar 42 hingga 58 persen kejahatan seksual.
Data serupa dicatat oleh Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan. Pada 2015 lalu, kekerasan seksual yang terjadi di komunitas atau masyarakat adalah 63 persen. Sementara kekerasan di wilayah domestik seperti rumah tangga sebesar 30 persen.
Sebanyak 70 persen dari kekerasan seksual tersebut tergolong pemerkosaan.
"Para korban ini tidak melapor ke pihak berwajib karena takut ketahuan publik dan justru menjadi sasaran salah oleh anggota keluarga yang lain, sehingga penyintas atau korban semakin merasa bersalah," kata Livia.
Berdampak sampai ke ekonomiDampak kekerasan bisa beragam. Bukan hanya mental dan fisik, tetapi juga ekonomi. Dan perempuan yang menjadi korban lebih menanggung beban itu dibandingkan pelaku.
Bagaimana bisa? Para penyintas perempuan itu selamanya membawa beban stigma yang menyulitkan mereka. Termasuk saat mencari kerja atau berusaha mandiri secara finansial.
Salah satu stigma yang menjadi akar masalahnya adalah mengidentikkan perempuan korban kekerasan seksual dengan rusaknya kesucian, bukan sebuah kejahatan.
Azriana dari Komnas Perempuan yang hadir dalam kesempatan yang sama mengatakan, stigma itu membuat perempuan korban kekerasan justru dinikahkan oleh pelaku. Padahal itu justru membuka peluang baru akan terjadinya kekerasan selanjutnya.
"Bahkan penelantaran rumah tangga oleh suami," kata Azriana menegaskan.
Pada akhirnya, korban harus mandiri secara ekonomi padahal di dalam dirinya sendiri ada beban stigma negatif karena mengalami kekerasan.
Bukan hanya itu, masyarakat juga kerap mengaitkan kekerasan dengan moral. Mereka lebih dahulu mempertanyakan busana atau waktu keluar si korban, terutama jika itu perempuan. "Dan kekerasan itu lalu dianggap sebuah kewajaran," ujar Azriana lagi.
Agar kekerasan tidak berdampak sampai ke mental, fisik, dan ekonomi, yang diperlukan korban setelah peristiwa nahas dalam hidupnya bukanlah perbincangan miring. Menurut Azriana dan Livia, mereka butuh dukungan dan kepercayaan orang lain.
Dengan demikian, mereka sadar bahwa penting untuk berani berbicara dan mengadukan permasalahan kekerasan yang mereka alami. Pihak-pihak seperti Lembaga Bantuan Hukum atau psikolog bisa membantu.
(rsa)